Penulis : Hasrul Buamona,SH (Staf Pembela Umum LBH Yogyakarta )
Perkembangan hukum kesehatan di Indonesia tidak bisa lepas atau berdiri sendiri namun saling berkaitan dengan bidang hukum lainnya termasuk juga bidang hukum pidana. Akhir-akhir ini, dalam dunia kesehatan, kasus malpraktek kedokteran begitu membumi. Berbagai ragam kasus malpraktik diperlihatkan kepada masyarakat, baik melalui media cetak maupun elektronik. Sebagai contohnya, sebuah kasus yang menggambarkan terjadinya perbuatan kelalaian dalam tindakan medis (malpraktek kedokteran), dimana ada seorang pasien yang menjalani pembedahan tulang (orthopedy). Pada awalnya operasi tersebut berjalan dengan lancar, namun tiba-tiba pasien mengalami kesulitan bernafas hingga setelah oprerasi selesai pun pasien harus tetap dirawat dengan bantuan alat pernapasan (ventilator).
Dalam pemasangan gas anastesi, gas N20 lah yang seharusnya diberikan kepada pasien, namun nyatanya gas CO2 yang diberikan kepada pasien, dimana gas CO2 seharusnya diperuntukan khusus untuk operasi katarak. Penggunaan CO2 pada pasien tertentu akan mengakibatkan tertekannya pusat pernapasan. Dampak yang terjadi adalah proses oksigenisasi akan terganggu yang fatalnya bisa mengakibatkan pasien tersebut meninggal dunia. Padahal, keselamatan pasien merupakan hukum yang tertinggi (agroti salus lex suprema) yang harus diutamakan.
Agar dapat dipidannya seseorang, termasuk dokter/dokter gigi, ada dua syarat yang harus dipenuhi, yakni perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) yang merupakan perbuatan pidana dan perbuatan yang dilakukan dapat dipertanggung jawabkan sebagai kesalahan (schuld). Konsepsi untuk adanya kesalahan, hubungan batin dengan dengan sifat melawan hukumnya perbuatan, bukan selalu harus berbentuk kesengajaan, tetapi cukup berbentuk kelalaian (culpa). Terkait kelalaian (culpa,) Modderman berpendapat bahwa “corak kelalaian yang paling mudah ialah bahwa orang melakukan pelanggaran hukum dengan tidak diinsafi sama sekali”. Kesalahan yang berbentuk kelalaian/kelapaan dalam KUHP dinyatakan dengan istilah “aan zijn schuld te wijten” yang termuat dalam Pasal 344,Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP.
Terkait kelalaian (culpa) Simons dan Van Hamel berpendapat :
- SIMONS mensyaratkan dua hal untuk kelalaian (culpa)
- Tidak adanya kehati-hatian (het gemis van voorzichtigheid);
- Kurangnya perhatian terhadap akibat yang mungkin terjadi (het gemis van de voorzienbaarheid van het gevolg).
- Van Hamel juga memberi dua syarat untuk kelalaian (culpa)
- Tidak adanya penduga-duga yang diperlukan;
- Tidak adanya kehati-hatian yang diperlukan (het gemis van nodige voorzichtigheid).
Esensi perbedaan antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana medis terletak pada kajian tindak pidana tersebut. Kajian tindak pidana biasa terletak pada akibat dari tindak pidana, sedangkan pada tindak pidana medis (malpraktek kedokteran) kajiannya pada sebab dari tindak pidana. Dalam tindak pidana medis, kaitannya dengan kelalaian (culpa), pertanggung jawabannya harus dibuktikan terkait adanya kesalahan profesional, misalnya kesalahan diagnosis atau kesalahan cara pengobatan. Kesalahan dalam tindakan medis pada umumnya terjadi karena kelalaian yang dilakukan oleh dokter, dimana tolak ukur kesalahan dalam melakasanakan tugas profesi kedokteran berupa kelalaian dalam hukum pidana adalah kelalaian berat (culpa lata), bukan kelalaian kecil (culpa levis).
Penentuan adanya kelalaian malpraktek kedokteran harus secara normatif bersandarkan pada upaya-upaya pengobatan (inspanningverbintenis) yang diberikan dokter/dokter gigi kepada pasien. Dengan demikian, penentuan tingkat kesalahan tentang ada atau tidaknya kelalaian dokter/dokter gigi harus dibedakan yakni ;
- Masa kerja dokter dengan kemampuan rata-rata.
- Dokter umum dengan dokter ahli.
- Fasilitas sarana kesehatan yang tersedia pada waktu dilakukannya tindakan medis.
- Faktor-faktor penunjang lain yang berpengaruh dalam tindakan medis yang telah dilakukan oleh dokter.
Namun yang perlu diketahui, kelalaian (culpa) tidak termasuk perbuatan melawan hukum apabila tidak menimbulkan kerugian pada orang lain, ini terdapat dalam doktrin hukum “de minimus non curat lex” (hukum tidak mencampuri hal yang sepele), namun pengecualiannya diperuntukkan bagi kelalaian berat (culpa lata) dimana menimbulkan kerugian tidak hanya materil namun juga nyawa seorang pasien. Kaitan dengan kelalaian berat (culpa lata) yang diatur dalam Pasal 359 KUHP yang berbunyi “Barang siapa karena kealpaannya/kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Pasal 359 KUHP, memiliki hubungan dengan contoh kasus yang dijelaskan diatas dimana kasus tersebut diketegorikan sebagai kelalaian yang bersifat berat (culpa lata) dikarenakan akibat dari kelalaian dan kurang adanya sikap profesional seorang dokter hingga menyebabkan meninggalnya pasien. Dari uraian terkait kelalaian (culpa) dalam malpraktek kedokteran yang dijelaskan diatas, maka intisarinya bahwa malparaktek kedokteran bisa terjadi disebabkan tindakan kelalaian/kealpaan (culpa/negligence) ataupun suatu ketidakmahiran serta kurang kompetennya seorang dokter/dokter gigi yang tidak beralasan.