Penulis : Hasrul Buamona,SH (Staf Pembela Umum LBH Yogyakarta )
Orang miskin dilarang sakit!!! Istilah ini berkembang sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia saat ini, di mana tidak setiap warga negara mendapatkan pelayanan kesehatan dengan baik dan paripurna sesuai dengan Pasal 28H UUD 1945 yang mengatakan ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Kenyataannya saat ini telah terjadi kesenjangan jiwa altruisme dari setiap unsur-unsur pelayanan kesehatan, baik itu direktur/kepala rumah sakit, dokter, perawat, bidan dan pemerintah selaku pembuat kebijakan.
Hakekatnya jiwa altruisme merupakan suatu sistem etika menurut comte dan spencer sebagai suatu kewajiban mutlak untuk mencapai suatu pengabdian tanpa pamrih kepada masyarakat khususnya yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang terdiri dari pemeriksaan medik, diagnosis, terapi, anastesi, menulis resep obat-obatan, pengobatan, perawatan di rumah sakit, peningkatan pasien, kontrol, pelayanan pasca perawatan, pemberian keterangan medik dan kerja sama vertikal penyelenggara pelayanan kesehatan, dan sebagainya.
Rentetan kasus yang menggambarkan bahwa pelayanan kesehatan di negara ini tidak begitu baik, di antaranya dipertontonkan dalam kasus dua rumah sakit swasta di Kota Bandar Lampung yang menolak pasien yang memakai kartu Jamkesda dan Jamkesmas untuk berobat, sehingga membuat walikota Bandar Lampung geram dengan menyatakan, “apa maksud dari rumah sakit tersebut menolak pasien yang tidak mampu untuk berobat demi kesembuhan penyakitnya dan pihak rumah sakit tak perlu khawatir dikarenakan seluruh biaya sumah sakit bagi masyarakat tidak mampu akan ditanggung oleh pemerintah” (Republika.co.id,12/3/2013). Ini satu dari sederet permasalahan pelayanan kesehatan di negara ini yang perlu diawasi dan diberikan sanksi yang tegas oleh pemerintah.
Namun yang perlu dicermati juga terkait kesenjangan jiwa altruisme bukan hanya dilakukan secara kelembagaan dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit, namun kesenjangan jiwa altruisme juga telah terlihat dari sikap para lulusan pendidikan kedokteran yang enggan mengabdi di daerah terpencil di negara ini yang lebih membutuhkan pelayanan kesehatan secara terpadu, dengan alasan klasik yakni biaya pendidikan kedokteran begitu mahal sehingga harus mengembalikan sejumlah biaya yang besar yang telah dikeluarkan selama kuliah di kedokteran. Ketika nilai-nilai pragmatis dan profit dijadikan sebagai unggulan untuk dalam memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat, maka secara tidak sadar telah melumpuhkan nilai-nilai dedikasi dan kehormatan suatu profesi kedokteran yang mulia (officium nobile) yang telah ada berabad-abad dan merupakan salah satu profesi tertua selain profesi advokat (lawyer). Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan oleh Tim Penilai Kinerja Pelayanan Publik (TPKP) pada 2011 terhadap 183 negara, Indonesia menempati urutan ke 129 dalam hal pelayanan publik termasuk juga pelayanan kesehatan, di mana Indonesia masih kalah dengan India, Vietnam bahkan Malaysia sudah menempati urutan 61 dan Thailand berada di urutan ke 70 (administrator/kategori news,20/12/2011)
Apabila kita merujuk pada UU No 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dalam Pasal 3 mengatur “pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis”. Pasal 4 mengatur “setiap orang berhak atas kesehatan”. Pasal 5 ayat (1) “setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan”, ayat (2) “setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman bermutu dan terjangkau” dan Pasal 9 ayat (1) mengatur “setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya”. Terlihat dengan jelas bahwa kedudukan masyarakat dalam pasal-pasal tersebut berada pada kedudukan tertinggi dalam memperoleh akses pelayanan kesehatan dengan baik.
Ketika berbicara pelayanan kesehatan berarti tidak bisa lepas dari rumah sakit yang jadi tempat transaksi terapeutik antara pasien dengan penyedia pelayanan kesehatan yang diatur dalam Pasal 2 UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, mengatur “Rumah Sakit diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien serta mempunyai fungsi sosial”. Permasalahan pelayanan kesehatan yang kurang baik di negara ini juga berpangkal dari belum adanya politik hukum kesehatan yang disusun secara berkeadilan kepada masyarakat, bisa kita lihat dalam Pasal 21, UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yang mengatur “Rumah Sakit privat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseoran Terbatas atau Persero”, di sisi lain tidak salah ketika terjadi kesenjangan jiwa altruisme dalam pelayanan kesehatan atau juga dua rumah sakit swasta di Bandar Lampung yang telah di jelaskan di atas menolak pasien yang menggunakan kartu Jamkesda dan Jamkesmas, dikarenakan dalam peraturan perundang-undangan sendiri telah membuka peluang kepada rumah sakit untuk mencari keuntungan dengan meninggalkan tujuan utama sebagai fungsi sosial, maka sangatlah pantas ketika penulis mengatakan bahwa pemerintah belum memiliki politik hukum kesehatan yang baik sehingga membuka peluang secara sistem dan struktur serta juga membuka peluang pelayanan kesehatan menjauh dari jiwa altruisme.