Penulis : Hasrul Buamona (Staf Pembela Umum LBH Yogyakarta)
Permasalahan hukum yang kompleks dan berantai di negara Indonesia sekarang ini, membuat penegak hukum dituntut bekerja keras dan progresif dengan tetap mengedepankan hati nurani. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) telah jelas mengatur bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, selain itu Pancasila sebagai filosofi dasar negara juga telah mengatur dalam sila ke-5 bahwa “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Ini memberi gambaran bahwa negara Indonesia adalah negara yang harus memiliki keteraturan dalam menjalankan struktur hukum, sistem hukum dan budaya hukum. Menurut Satjipto Rahardjo, pencetus pemikiran hukum progresif, penegakkan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum tersebut. Maka dengan ini Pemikiran hukum progresif menuntut keberanian aparat penegak hukum menafsirkan pasal-pasal untuk memperadabkan manusia sebagai subjek hukum dan bukan sebagai objek hukum.
Penegakkan hukum tidak hanya berdasarkan pada kecerdasan intelektual, melainkan juga didasari dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi dan komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain dari pada yang biasa dilakukan.[1] Dalam nada yang sama, menurut Hakim Mahkamah Agung Artidjo Alkostar, harus mencapai hukum yang bersukma keadilan dan berspirit kerakyatan dalam pembahruan hukum dan peradilan Indonesia.[2] Pada saat sekarang penegakkan hukum di Indonesia seperti sebilah pisau belati, yang hanya menunjukkan tajamnya ke bawah namun begitu tumpul ke atas. Maksudnya penegakkan hukum terhadap orang kecil begitu represif tanpa ada upaya preventif, sedangkan terhadap orang yang memiliki kekuasaan, hukum seakan begitu lunak dan memihak. Rule breaking sebagai upaya strategis menembus kebuntuan legalitas formal merupakan ikon dalam merefleksikan gerakan hukum progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo. Gerakan pemikiran hukum progresif lahir sebagai akibat dari kekecewaan kepada penegak hukum yang kerap berperspektif positivisme dalam menegakkan hukum, yang hanya terpaku pada teks undang-undang tanpa mau menggali nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat.
Hubungan pemikiran progresif dengan Bantuan Hukum Struktural sebenarnya dilatar belakangi dengan permasalahan yang sama di mana Bantuan Hukum Struktural (BHS) tidak hanya melihat pada lemahnya penegakkan hukum namun juga terkait dengan pembuatan kebijakan oleh pemerintah yang dipengaruhi juga dari faktor lain baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama serta berdimensi pada pelanggaran HAM. Bantuan Hukum Struktural juga merupakan suatu metode penyelesaian hukum dalam hal memberi bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono) yang tidak hanya sekedar memberi bantuan hukum secara konvensional tanpa menyentuh permasalahan fundamental yang sering tidak terlihat oleh publik, namun lebih berfokus pada gerakan dan rangkaian tindakan guna pembebasan masyarakat dari belenggu struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya yang sarat akan penindasan yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang sehingga membuat sementara masyarakat termarjinalkan. Penegak hukum sering dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai alat pemaksa dengan menghalalkan segala cara, agar kebijakan pemerintah yang kurang produktif dapat berjalan dengan mulus tanpa ada perlawanan dari masyarakat, sekalipun harus melanggar hak konstitusional warga masyarakat. Kaitannya dengan ini terlihat bahwa komponen supra struktur negara Indonesia yakni pemerintah dan penegak hukum belum menjalankan strukur hukum, sistem hukum dan budaya hukum dengan baik, sehingga sering kali terpaku pada pemahaman positivisme hukum sampai pada penyalahgunaan hukum dan kebijakan. Maka dengan ini, hubungan antara pemikiran hukum progresif dan Bantuan Hukum Struktural merupakan suatu penggabungan antara doktrin hukum dengan metode bantuan hukum dengan cara penyelesaian yang lebih melihat aspek di luar hukum itu sendiri baik politik, sosial, ekonomi, budaya dan agama dengan tujuan untuk tercapainya penegakkan hukum yang berkeadilan sosial.
Referensi :
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum,Genta Publishing,2010.Yogyakarta. ____________________Hukum Progresif Urgensi dan Kritik, Epistema Institut dan HuMa,2011.Jakarta.