Catatan kritis atas kasus dugaan kampanye terselubung Rhoma Irama bertendesi SARA dalam PEMILUKADA DKI Jakarta
Oleh: Rizky Fatahillah
Adalah sangat menarik untuk mengutip tesis “kuasa melahirkan pengetahuan” dari Michel Foucault salah seorang filsuf Post-Marxis yang terlahir dari budaya teori kritis. Tesis tersebut memaknai bahwa legitimasi dari kekuasaan harus senantiasa dijaga agar legitimate, tidak hanya melalui instrumen-instrumen yang bersifat koersif (baca memaksa) seperti hukum, alat kekerasan negara, namun juga harus senantiasa dengan menciptakan pengetahuan yang bersifat nalar sehingga ia diterima secara sadar dengan persetujuan, sehingga melahirkan kondisi hegemoni bagi si terkuasai (baca- masyarakat common senses) sehingga hidup dengan kesadaran palsu.
Uniknya filsuf dari Prancis ini berbicara kekuasaan tidak pada pandangan mainstream yang mempersepsikan kekuasaan melulu pada struktur formal negara (trias-politika) atau yang biasa disebut Suprastruktur, tetapi kekuasaan juga eksis pada hubungan yang bersifat personal atau privat. kekuasaan Sebagai aktifitas kuasa-menguasai secara produktif terhadap kesadaran dan intelektualita. Kekuasaan memapankan diri lewat sebagai nilai-nilai seperti budaya, ilmu pengetahuan, kebiasaan dan tafsir agama.
Berdasarkan hal tersebut, menarik mencermati soal kontroversi pelanggaran PEMILUKADA. Yang diduga dilakukan oleh Bang Oma (Pangilan akrab H. Rhoma Irama) punggawa grup orkes Soneta ini diduga melakukan kampanye dengan membawa isu bertendensi SARA (Suku-Agama-Ras-Antargolongan). Diberbagai alur pemberitaan disebutkan bahwa berdasar pada rekaman video seorang jamaah yang melaporkan, secara jelas Bang Oma “menganjurkan” dalam khotbah bahwa sebaiknya jamaat muslim memilih calon Gubernur DKI yang beragama islam demi kemaslahatan umat, sedangkan calon lain yang non-muslim sebaiknya jangan dipilih.
Menurut update media online tempo.co tanggal 03 Agustus 2012 lalu, Ia (Bang Oma) juga menggunakan isu SARA untuk menyerang pasangan kandidat Joko Widodo-Basuki Tjahaja (lawan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli). Berdasarkan hal tersebut, Bang Oma diduga melanggar ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU PEMDA). Ketentuan yang dilanggar adalah pasal 116 ayat 1 tentang Kampanye di Luar Jadwal dan pasal 116 ayat 2 tentang Penghinaan terhadap Calon Gubernur dengan Isu SARA. Ia terancam dijerat hukuman penjara tiga sampai 18 bulan.
Statement kontroversial tersebut tentu saja jelas dikatakan dalam fase tenang (damai) tanpa jadwal kampaye PEMILUKADA Gubernur DKI Jakarta, yang kita tahu juga saat ini hendak menyambut pemilihan putaran 2 (dua). Hak ini sebagai konsekuensi tidak adanya calon yang mencapai hasil mayoritas diatas angka 50% menurut perhutungan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi Jakarta. Batas waktu yang sah untuk melakukan kampanye secara jelas disebutkan pada pasal 75 UU PEMDA, artinya diluar ketentuan batas waktu tersebut tidak dibenarkan untuk melakukan kampanye dalam bentuk apapun. Pasal 75 UU PEMDA berbunyi:
Pasal 75
(1) Kampanye dilaksanakan sebagai bagian dari penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(2) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara.
Selain itu normatifnya, sebuah kampanye yang sah harus memenuhi syarat-syarat secara kumulatif seperti yang ditentukan secara jelas dalam pasal 5 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 69 tahun 2009 tentang Pedoman teknis Kampanye Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Peraturan KPU tentang Kampanye PEMILUKADA). persyaratan tersebut harus dipenuhi secara kumulatif sehingga dapat dikatakan sebagai kampanye yang sah:
a. dilakukan oleh pasangan calon dan/atau tim kampanye;
b. terdapat unsur meyakinkan para pemilih dalam rangka memperoleh dukungan sebesar-besarnya dalam bentuk penawaran visi, misi, dan program secara tertulis atau lisan;
c. terdapat alat peraga atau atribut pasangan calon; dan
d. dilakukan pada jadwal dan waktu kampanye
Sekilas apabila dilihat dari kacamata awam kebanyakan (common sense) mungkin apa yang dilakukan oleh Bang Oma sah saja, khususnya bagi penceramah ketika mengisi khotbah di tempat ibadah untuk mengeluarkan statement tendensius seperti itu. Namun apabila dilihat konteks semangat demokrasi yang mengusung pluralitas keyakinan politik dan dilakukan dalam konteks dimensi ruang publik, ini menjadi hal yang kontra-produktif dan bahkan dapat melawan hukum.
Analisis ini berangkat dari pertanyaan etiskah, dan bersifat melawan hukumkah apa yang dilakukan oleh bang Oma ketika ia melakukan khotbah yang diduga melakukan “kampanye teselubung” bertendensi SARA. Namun tidak dibuat untuk menguntungkan salah satu kontestan dalam hajatan PEMILUKADA tersebut.
Etiskah khotbah kampanye terselubung dengan semangat demokrasi?
Kita tahu bahwa Bang Oma adalah tokoh publik yang (masih) karismatik bagi (sebagian) masyarakat, terlepas dari berbagai pro-kontra dan gosip miring yang kerap menerpa kehidupannya lewat infotaiment namun ia juga punya peran terhadap budaya dan industri musik genre tertentu. Selain itu ia juga tokoh politik yang punya massa dan punya afiliasi dalam kontestasi politik baik lokal maupun nasional. Kita selanjutnya berkaca saja pada grup musik yang digandrungi anak muda yaitu Slank. berbeda dengan yang pertama, Slank yang notabennya juga punya fans fanatik pada kancah musik nasional, mereka sangat enggan untuk didekati oleh kepentingan elit politik tertentu untuk pemenangan pemilu.
Alasannya jelas saja mereka enggan digunakan sebagai komoditas pendongkrak suara, bila terjadi sebaliknya mungkin saja fans fanatik mereka memilih mengikuti pilihan politik idolanya (panutan). Maka wajarlah apabila Bang Oma dapat kita analogikan dengan slank yang memiliki kekuatan hegemonik atau mempengaruhi terhadap followers-nya (baca-pengikutnya), terlebih bang Oma yang notabennya seoarng pendakwah dalam beberapa tahun terakhir.
Selanjutnya dalam konteks saat khotbah yang diduga terjadi “kampanye terselubung” bertendesi SARA, menjadi pertanyaan juga apakah forum tersebut adalah forum terbatas atau forum terbuka “ruang pablik”?.
Yang dimaknai dengan forum terbatas disini adalah forum yang sudah by design. Dalam arti dibuat dan disadari untuk kepentingan kelompok dengan sentimen kesamaan klan, ideologis, keanggotan formal suatu organisasi tertentu. Khusunya dalam konteks ini adalah forum dengan audiens yang homogen keyakinan politiknya (pendukung satu pasangan Calon). Bahkan secara teknis komposisi audens yang hadir harus dilakukan dengan undangan, yang memang bermaksud membatasi audens. Sehingga dengan forum tersebut tidak salahlah apabila seorang pembicara berbica dengan muatan kepentingan-kepentingan yang sejalan dengan alam pikir kelompok tersebut, atau setidaknya secara etis tak masalah bagi pembicara secara sengaja mengangkat hal-hal yang berujung resiko kontroversial dengan maksud meningkatkan kesadaran internal kelompok.
Sedangkan yang dimaksud dengan forum terbuka “ruang publik” adalah forum bukan terbatas yang memang komposisi audiensnya plural, dalam arti tidak ada kesamaan sentimen dan solidaritas, baik itu klan, idelogis, keanggotaan formal suatu organisasi. Khususnya dalam konteksi ini adalah forum dengan audiens yang disadari memiliki sentimen keyakinan politik yang plural/heterogen. Sehingga dengan forum tersebut haruslah sangat disadari oleh seorang pembicara, ia harus mawas diri untuk mengangkat topik-topik tertentu yang bisa menjadi kontroversi dan kontra-produktuf dengan semangat demokrasi plural keyakian politik.
Dalam konteks dugaan yang dilakukan oleh Bang Oma yang diduga melakukan khotbah yang berbau “kampanye terselubung bertendensi SARA, maka apabila kondisi secara faktual terjadi dalam forum tersebut adalah forum terbuka “ruang publik” sekalipun dalam tempat ibadah jelas perbuatan yang kontraproduktif. Sejalan dengan premis forum terbuka “ruang publik”, mengapa yang dilakukan oleh Bang Oma adalah salah?, penjelasanya adalah karena seharusnya disadari dalam komposisi jamaah di tempat ibadah sangatlah mungkin satu dan lain jamaah berbeda keyakinan politiknya. Terlebih bagi mereka yang kritis dan sadar akan hak Sipil dan politik.
Kampanye terselubung melawan hukumkah?
Selanjutnya menjawab pertanyaan apakah yang diduga dilakukan oleh Bang Oma merupakan perbuatan yang melawan hukumkah? Untuk menjawabnya maka perlu mencermati ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan aturan kampanye PEMILUKADA.
Yang Pertama terkait apakah yang dilakukan sebagai bentuk kampanye terselubung atau bukan? Pasal 75 UU PEMDA sendiri sudah jelas menggariskan batas waktunya yaitu 14 hari semenjak pasangan calon ditetapkan dan berakhir 3 hari sebelum hari pemungutan suara. Dugaan perbuatan “kampanye terselubung” dilakukan tepatnya setelah hasil perhitungan suara ditetapkan dengan hasil yang membawa ke tahap pemilihan tahap 2, mendasarkan pada ketentuan pasal 75 UU PEMDA maka bentuk kampanye apapun yang berusaha menarik simpati konstituen (pemilih) tidak dibenarkan. karena kampanye yang sah salah satunya harus dilakukan sesuai dengan jadwal waktu tersebut dan ditetapkan KPUD.
Dalam kampanye yang sah saja sesuai dengan jadwal menurut pasal 75 UU PEMDA dan di tetapkan oleh KPUD, diatur bagaimana bentuk-bentuk kampanye. Pasal 76 ayat (1) UU PEMDA dan pasal 16 Peraturan KPU tentang Kampanye PEMILUKADA mengatur bentuk-bentuk kampanye. Ada beberapa jenis bentuk memungkinkan Pasangan Calon dan Tim kampanyenya memungkinkan kampanye secara langsung dengan konstituen (pemilih pendukung/bukan pendukung), beberapa bentuk yang bisa dipilih adalah adalah pertemuan terbatas, tatap muka dan dialog, rapat umum, debat publik/debat terbuka antar calon, kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Terkait bentuk kampanye diatas dianggap sah apabila memenuhi unsur-unsur sahya kampanye sesuai dengan pasal 5 Peraturan KPU tentang Kampanye PEMILUKADA. Artinya dalam masa kampanye sekalipun pasangan calon yang punya hak untuk berkampanye tetap tidak boleh secara liar menarik simpati konstituen (pemilih) disembarang situasi dan tempat.
Sebagai Contoh untuk kampanye dalam bentuk rapat terbatas dan dialog interaktif yang diadakan pasangan calon, dalam menjaring peserta harus dengan adanya undangan bagi audiens. Rapat terbatas dalam peraturan teknis kampanye tersebut dikemas hanya untuk siapa yang jelas pendukung pasangan calon, sedangkan dialog interaktif bisa juga diikuti oleh diluar pendukung. dan yang paling jelas adalah adanya undangan untuk bisa mengikutinya. Sedangkan Rapat Umum, bisa diadakan di ruang terbuka, terbuka bagi masyarakat umum baik pendukung atau bukan. Sekali lagi harus ditegaskan bahwa bentuk kampanye tersebut harus sesuai dengan Pasal 5 Peraturan KPU tentang Kampanye PEMILUKADA.
Kembali lagi pada konteks kasus yang diduga Bang Oma melakukan “kampanye terselubung” di tempat ibadah, mencul pertannyaan apakah kalau dalam kampanye yang sah saja dibenarkan melakukan kampanye di rumah ibadah seperti mesjid, greja, vihara dan lainya?. Jawabnya Jelas tidak, dalam pasal 78 UU PEMDA sendiri sudah jelas mengatakan bahwa dalam kampanye dilarang menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan. Lalu kemudian bagaimana dengan yang diduga dilakukan Bang Oma? Kita harus melihatnya dalam konteks memontum PEMILUKADA yang beranjak pada putaran 2 dan hasilnya belum final, sekali lagi mencuplik ketentuan 75 UU PEMDA bahwa batasan jadwal kampanye jelas, dan kampanye dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan.
Terkait dengan ketentuan pasal 78 UU PEMDA yang melarang penggunan tempat ibadah untuk kampanye, alasannya jelas agar sarana dan simbol agama tidak menjadi menjadi komoditas politik untuk mempengaruhi (meng-hegemoni) konstituen (pemilih). Dalam konteks kasus Bang Oma walaupun seorang jamaah dengan jamaah yang lain bisa “berdiri dan duduk sama jajar” dan sama dihadapan tuhan, seharusnya disadari oleh seorang pengkhotbah untuk memahami kondisi masyarakat yang plural akan keyakinan politik. Khususnya dalam konteks ini adalah saat momentum masa tenang/damai tanpa kampanye dari para calon PEMILUKADA Gubernur DKI Jakarta. Sehingga dapat dipahami bahwa adanya aturan larangan berkampanye di tempat ibadah, sejatinya untuk melindungi dan menjujung semangat demokrasi yang plural dengan keyakinan politik dan dilindungi sebagai hak-hak sipil dan politik warga negara.
Yang Kedua terkait apakah yang dilakukan oleh Bang Oma termasuk kampanye terselubung bertendensi SARA atau tidak?. Dalam sebuah kampanye yang sah saja materi dan cara menyampaikan kampanye ada batas-batas aturan mainya, tujuannya jelas agar hajatan demokrasi langsung rakyat yang berfungsi sebagai sarana pendidikan politik seperti hak pilih secara sehat tercapai.
Apakah dalam kampanye yang sah, seorang pembicara dibenarkan untuk menyampaikan materi yang bermuatan tendensi SARA?. Dalam ketentuan pasal 78 point b UU PEMDA disebutkan dalam Kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon kepaladaerah/wakil kepala daerah dan/atau partai politik. Selanjutnya lebih rigid lagi dalam Peraturan KPU tentang Kampanye PEMILUKADA, Pasal 13 point d jelas dikatakan penyampaian materi dilakukan dengan bijak dan beradab, yaitu tidak menyerang pribadi, kelompok atau golongan lain pasangan calon lain. Selanjutnya pasal 13 ponit e jelas juga mengatakan tidak boleh bersifat provokatif. Terkait muatan materi yang disampaikan, pasal 14 point c dikatakan materi kampanye harus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Juga pada pasal 14 point f harus menjaga komunikasi yang sehat antara pasangan calon dengan masyarakat sebagai bagian dari membangun budaya politik Indonesia yang demokratis dan bermartabat.
Dalam konteks kasus Bang Oma, Mungkin ada anggapan bahwa sudah biasa ketika seorang pengkhotbah dalam tempat ibadah manapun menganjurkan jamaah untuk memilih yang seiman. Entah dengan cara persuasife halus atau sarkastik yang “memojokan” dari berbagai sudut, diantaranya perbedaan SARA (Suku-Agama-Ras-Antargolongan). Namun kita sekali realitas sosial masyarakat hari ini yang cenderung plural, artinya bahwa terdapat seorang yang religius namun ia tidak juga sepakat memilih kontestan politik membawa simbol agama karena satu dan beberapa hal. Ini yang kemudian dinamakan sebagai keyakinan politik dan harus dihormati oleh pengkhotbah dalam rangka membangun budaya politik yang demokratis dan bermatabat. Terlebih lagi terhadap kasus diguaan pelanggaran yang dilakukan bang Oma, yang harus dilihat pada saat atmosfer moment PIMILUKADA yang memasuki putaran dua dan hasilnya belum final.
Hak atas keyakinan politik masyarakat sebagai HAM
Terkait hak-hak sipil dan politik, sejatinya saja sudah jelas apabila kita mendasarkan pada Konstitusi UUD 1945 amandemen, terkait ketentuan HAM, khususnya pasal 28E ayat (2) yang menyebutkan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, meyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”. Selain itu juga kita dapat mencuplik dari ketentuan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya pasal 23 ayat (1) “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Tentunya kedua pasal tersebut menjamin perlindungan bagi warga negara untuk mempertahankan keyakinan politiknya dari gangguan dan pelanggaran apapun. Namun sangatlah ironis bahwa kita harus merasa tidak nyaman dengan adanya bantuk kampanye terselubung yang menggunakan tempat ibadah, padahal sangatlah jelas dalam pasal 78 point i kampanye dilarang dilakukan di tempat ibadah. Tempat tersebut yang seharusnya “khudus-suci” dan religius, akhirnya dimanfaatkan (disusupi) oleh kontestasi kepentingan politik praktis seperti saat momentum PEMILUKADA.
Sehingga terkait dugaan pelanggaran jadwal dan kampanye bertendensi SARA, sangatlah patut untuk disesalkan baik dalam konteks proses PEMILUKADA Gubernur DKI Jakarta dan juga pada konteks wacana yang lebih luas. Disadari bahwa kasus dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Bang Oma, hanyalah satu yang muncul ke permukaan di masayarkat Indonesia. Dengan mensusupi kepentingan politik praktis kekuasaan lewat ruang dakwah yang notabennya juga “ruang publik” dengan jamaah yang heterogen, adalah perbuatan yang kontraproduktif karena memanfaatkan potensi kekuatan hegemonik agama. Selain itu juga disadari betul bahwa budaya “patron-client” masih menjadi alat yang ampuh dalam model budaya politik baik itu skup lokal bahkan nasional.
Sehingga dengan peristiwa seperti ini, maka jangan menjadi sampai menjadi preseden dan alasan bagi umat (warga negara) untuk pindah bahkan enggan beribadah di ruang ibadah yang suci dan religius, karena ruang itu sudah dikooptasi kepentingan parktis elit kekuasaan untuk membius kesadaran umat (warga negara) dengan kesadaran palsu, yang katanya membawa keselamatan umat alih-alih kepentingan jangka pendek elit kekuasaan.
Kalau demikian mendrive pikiran umat (warga negara) dengan politik bertendensi SARA sungguh perbuatan yang patut disesalkan, ini tak jauh bedanya dengan kekerasan intelektual (simbolik) terhadap warga negara yang memiliki keyakinan politik berbeda. Terlebih bukan desas-desus jalanan lagi bahwa proses politik partai dan PILKADA sangat sarat dengan korupsi politik, sehingga wajar apabila melahirkan pemerintahan yang koruptif.
Menjadi Harapan juga bahwa keyakinan religius selalu menjadi Oase penyejuk dari keringnya fase kehidupan yang tidak adil. Selain itu, menjadi harapan juga semua umat (warga negara) untuk memiliki semangat produktif menjunjung tinggi demokrasi yang sadar plural keyakinan politik bahkan dalam dakwah ruang publik, sehingga tidak akan disusupi oleh kepentingan elit politik dan yang berkuasa untuk hegemoni kepentingan parktis jangka pendek dan pada akhirnya menghormati perbedaan keyakinan politik sebagai hak sipil dan politik warga negara.