Peran Negara Dalam Pendirian Rumah Ibadah

 

Oleh: Rudiansyah Putra Sinaga

Perlakuan yang sama untuk menikmati kebebasan beragama di Indonesia dilindungi oleh konstitusi. Perlindungan tersebut dijamin dalam Pasal 28 dan 29 ayat 2 UUD 1945, pasal 22 ayat 1 dan 2 UU.No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta pasal 18 kovenan internasional Hak Sipil dan Politik yang telah menjadi hukum nasional Indonesia.

Dari ketentuan-ketentuan yang ada, kebebasan beragama dapat terbagi menjadi dua bagian: pertama, forum internum yaitu kebebasan untuk memilih atau menganut agama atau kepercayaan atas keinginannya sendiri. Hak ini tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan tidak boleh dibatasi tanpa pengecualian apapun oleh negara karena komitmen manusia yang begitu personal dari hati nuraninya terhadap keyakinan, kepercayaan, dan agama yang dipilih. Kedua, Forum eksternum yaitu kebebasan dalam menjalankan (memanifestasikan) agama dan kepercayaan yang dianutnya termasuk dalam hak ini adalah ibadah, mendirikan rumah ibadah, praktek-praktek keagamaan, perayaan keagamaan dan pengajaran keagamaan pada pelaksanaannya dapat dibatasi oleh negara.

Pendirian dan pembangunan rumah ibadah yang merupakan forum eksternum menjadi isu yang dapat memicu ketegangan dan bahkan konflik antar warga berbeda agama. Pendirian dan pembangunan rumah ibadah bisa mendatangkan permasalahan dari tindakan intoleran bahkan menjurus ke anarkis yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu, sehingga agama-agama lain seringkali terhambat untuk beribadah.

Aksi intoleran pelarangan jemaat untuk beribadah di GKI Yasmin, HKBP Filadelfia pun menunjukan sikap tidak membangun toleransi keberagamaan. Hidup berdampingan dengan orang  yang berbeda agama termasuk juga menerima kehadiran rumah ibadah bagi yang berbeda dari agama dan wajib dilindungi oleh negara, meskipun negara dalam melakukan perlindungan dapat melakukan pembatasan. Berdasarkan dari yang tersirat di pasal 70 UU.No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, pasal 18 ayat 3 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik, pembatasan forum eksternum mendirikan rumah ibadah dimaksudkan untuk menjaga ketertiban umum (Restriction for the Protection of Public Order).

Pembatasan lewat Peraturan Bersama (Perber) 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah

Peraturan bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006/No.8 Tahun 2006 mengenai pendirian rumah ibadat adalah bentuk pembatasan yang diberikan oleh negara pada forum eksternum terkait dengan kebebasan untuk beribadah (freedom of worship). Jika dilihat dari perspektif pemerintah, pengaturan terkait dengan pendirian rumah ibadat dirumuskan dan dibuat oleh pemerintah sebagai peraturan untuk menghindari konflik dan memberdayakan masyarakat dalam memelihara kerukunan antarumat beragama mengingat negara Indonesia memiliki berbagai agama dan kepercayaan. Tetapi pada implementasinya, niat baik itu justru menghambat kebebasan beragama untuk beribadah dan memicu konflik horizontal.

Sebagai contoh penyegelan rumah ibadah GKI Yasmin yang dilakukan Walikota Bogor. Tindakan tersebut mengabaikan Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang menyatakan bahwa upaya Walikota Bogor menerbitkan SK Pencabutan IMB GKI Yasmin adalah bentuk mal administrasi berupa perbuatan melawan hukum dan pengabaian kewajiban hukum serta bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung RI, disertai dengan tindakan intoleran intimidasi dan kekerasan dari kelompok-kelompok keagamaan tertentu untuk menghalangi dan menggagalkan kegiatan beribadah.

Kasus-kasus penyegelan atau penutupan serta perusakan rumah ibadah terkadang alasan yang umum dijumpai terkait dengan aspek perizinan. Yang pengaturannya lewat Perber Dua Menteri tentang pendirian rumah ibadah.

Dalam membuat suatu pembatasan, negara harus menjamin hak setiap warga negara untuk menjalankan agama pada forum eksternum tanpa mendapatkan suatu diskriminasi baik oleh pemeluk agama lain maupun aturan yang dibuat negara. Agama atau kepercayaan yang tidak diakui sebagai salah satu agama di Indonesia akan kehilangan hak kebebasan beragama pada forum eksternum dan tentu saja tidak akan diberikan haknya seperti perayaan keagamaan untuk mendapatkan hari libur, apalagi untuk membangun rumah ibadah. Bagaimana dengan agama minoritas yang diakui? Ijin pembangunan rumah ibadah bagi agama mayoritas tentu bukan suatu permasalahan, akan tetapi tidak berlaku sebaliknya. Syarat minimal 90 orang pengguna rumah ibadah dan juga dukungan 60 orang dari masyarakat setempat akan mengalami kesulitan pada pelaksanaanya bagi kelompok minoritas keagamaan sementara kelompok mayoritas keagamaan dengan mudah memenuhi prosedur administratifnya.

Perber Dua Menteri tentang pendirian rumah ibadah pada tataran implementasi pada akhirnya menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok agama tertentu khususnya minoritas.

Peran Negara

Negara berperan sebagai sebuah institusi yang punya legitimasi hukum dan politik untuk bertindak secara adil dan netral melindungi hak setiap warga negaranya dalam memberikan jaminan kebebasan beragama. Dalam beberapa kasus sikap aparat keamanan yang membiarkan dan tidak melakukan pencegahan terhadap aksi intoleran oleh sekelompok orang yang menutup tempat ibadah, melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap kepercayaan kelompok lain tidak dapat dibenarkan karena sama halnya negara tidak memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan beragama. Sebagai pihak yang punya kewenangan dalam pengendalian keamanan dan ketertiban di masyarakat, aparat keamanan harus berani mengambil langkah tegas untuk menegakan hukum terhadap para pelanggar kebebasan beragama ini dan merupakan suatu langkah yang baik untuk memberikan efek jera bagi para pelaku kekerasan.

Pembatasan yang dilakukan oleh negara terkait dengan pembangunan rumah ibadah diperkenankan sepanjang berkaitan dengan forum eksternum untuk menjaga ketertiban umum secara hak asasi manusia diperkenankan sepanjang aturan yang dibuat didasarkan atas prinsip-prinsip non-diskriminasi dan netral begitu juga pada pelaksanaanya mencegah intoleransi antar umat beragama bukan melakukan pelanggaran melalui pembuatan dan penguatan berbagai kebijakan yang membelenggu kebebasan beragama dan berkeyakinan.