Membaca Arah Kebijakan Pasar Tradisional Di DIY

Pasar Kolombo

Oleh: Yogi Zul Fadhli

Pria berpawakan kurus, bertopi biru tua dan bercelana pensil itu tampil nyentrik mengenakan kaca mata hitam di tengah cuaca panas yang terik. Sambil memegang pengeras suara, siang itu Purwanto dipercaya menjadi pranata acara dialog terbuka di halaman depan sebuah kios milik salah satu pedagang pasar. Cas-cis-cus, kendati udara panas ia tetap lincah berkomat-kamit. ”Yang kami hormati, bapak Menteri HAM…” begitu ujarnya lugu. Berkali-kali Purwanto mengira, orang yang dihadapinya adalah seorang menteri.

Ya, siang itu, Kamis 5 Juli 2012, pedagang Pasar Kolombo kedatangan tamu dari Jakarta. Nurcholis, Komisioner Komnas HAM, beserta tiga orang stafnya berkunjung meninjau lokasi pasar, sekaligus berdialog bersama puluhan pedagang yang telah memadati halaman kios. Maksud kehadiran mereka sehubungan dengan berbagai permasalahan dalam proyek renovasi Pasar Kolombo yang tak kunjung beres.

Meski sudah kerapkali bertukar pikiran dengan aparat pemerintah tapi penanganan masalah renovasi Pasar Kolombo belum juga tuntas. Nasib ratusan pedagang hanya dioper sana-sini. Pemerintah cenderung ingin lepas tangan bila hendak diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan ini. Langkah yang diambil pemerintah terkesan kepalang tanggung. Padahal jika pemerintah tidak taktis mengambil kebijakan solutif, akan mematikan rezeki ratusan pedagang Pasar Kolombo. Ini ironis karena Pemerintah Provinsi DIY belum lama menerbitkan Perda Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan Dan Toko Modern.

Pertanyaannya bagaimana arah kebijakan Pemerintah Provinsi DIY  terhadap eksistensi pasar tradisional?

Lahirnya Perda Nomor 8 Tahun 2011 mengasosiasikan keputusan pemerintah untuk memilih jalur ekonomi liberal sudah keluar dari khitah ekonomi kerakyatan yang menjadi spirit bangsa Indonesia. Selain itu Perda ini diperlukan karena peraturan yang sudah ada, yakni Perpres Nomor 12 tahun 2007 terkesan berpihak pada pemodal-pemodal besar.

Oleh karenanya pasal-pasal yang ada di dalam Perda 8/2011 banyak mengartikulasi perlindungan terhadap pasar tradisional di mana menyodorkan kewajiban pemerintah daerah untuk melindungi pasar tradisional dan pelaku usaha yang ada di dalamnya. Di tengah ekspansi besar-besaran pasar modern di Yogyakarta, diperlukan perlindungan terhadap pasar tradisional supaya pelaku ekonomi kecil tetap dapat eksis. Dengan demikian perlindungan dari pemerintah sifatnya bukan sunah belaka, melainkan fardu (yang musti dikerjakan) dan bila tidak dilaksanakan mengingkari hak para pedagang untuk mencapai kemakmuran dalam hidupnya.

Politik hukum yang dibangun Perda 8/2011 mempunyai prospek perlindungan terhadap pasar tradisional berikut pelaku ekonomi di dalamnya. Dengan proteksi tersebut, pedagang dapat sentosa berniaga tanpa musti memikirkan ancaman ekspansi ekonomi yang dilakukan pasar modern yang kian membiak. Jika kedamaian moril-materiil telah tercipta, maka cita-cita terpenuhi dan terlindunginya HAM, yaitu hak bekerja dengan layak untuk meningkatkan taraf hidup pedagang pun kesampaian.

Kondisi faktual

Semangat perlindungan terhadap pasar tradisional yang termaktub dalam Perda 8/2011 tidak sepenuhnya diterapkan oleh pemerintah kabupaten/kota maupun pemerintah desa yang menaungi keberadaan pasar tradisional. Tujuan yang hendak dicapai dari politik hukum Perda ini sebatas utopia belaka. Tampak ketidakmauan aparatus negara untuk mengimplementasikan pemenuhan dan perlindungan HAM (hak atas pekerjaan) bagi pedagang pasar tradisional.

Bahaya laten terlumatnya perekonomian pedagang pasar tradisional juga kian besar. Jika pada mulanya pemerintah telah ’salah jalan’ berkongkalikong dengan pemodal besar yang mengakibatkan perekonomian pedagang-pedagang pasar tradisional mati, maka sekarang ancaman terlanggarnya hak bukan lagi dari pemodal besar saja, namun justru dari pemerintah itu sendiri yang menjelma dalam entitas kebijakan yang tidak pro pedagang kecil pasar tradisional.

Semisal dalam kasus revitalisasi Pasar Kolombo. Selama mengikutinya terlihat ketidakmauan pemerintah ––dari tingkat kabupaten hingga desa–– untuk ikut melindungi dan memenuhi HAM (hak atas pekerjaan). Pedagang Pasar Kolombo sudah 8 bulan berada di tempat penampungan sementara. Selama itu tidak dijumpai pendekatan yang humanis dari pemerintah desa setempat, pemerintah kecamatan apalagi pemerintah kabupaten untuk memberi titik terang. Selama pedagang berada di penampungan sementara, kenyamanan dalam berjualan tidak lagi dirasakan.

Kebijakan pemerintah desa tidak mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi pedagang. Penghasilan pedagang jadi merosot karena tata kelola tempat relokasi yang kurang proporsional. Lebih memprihatinkan lagi, akibat ketidakselarasan penataan tempat relokasi ini dijumpai ketimpangan pendapatan antara pedagang yang diposisikan di dalam dengan pedagang yang ada di luar. Pedagang Pasar Kolombo sebagai pihak yang paling berkepentingan justru dirugikan. Apabila pemerintah baik provinsi sampai tingkat desa tidak segera turun tangan, konflik horisontal antar pedagang di Pasar Kolombo menjadi bahaya laten. Pemerintah perlu secepatnya mengakomodasi hak semua pihak lewat penyelesaian kemanusiaan serta komunikasi menjadi kunci utamanya.

Refleksi

Arah kebijakan pemerintah terhadap pasar tradisional masih ambivalen. Manakala cita hukum dalam Perda 8/2011 telah berlandaskan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, realitasnya banyak kebijakan pemerintah tidak harmonis dengan perundang-undangan. Selain kian merebaknya pasar modern, ancaman juga datang dari kebijakan pemerintah yang tidak menyentuh kepentingan holistis pedagang. Permasalahan di Pasar Kolombo hendaknya dapat jadi refleksi bahwa pengelolaan pasar tradisional perlu pendekatan dan memperhatikan kondisi sosial ekonomi pedagang.