Oleh: Riki Marjono
Sejak Gubernur DIY mengeluarkan Surat Edaran Nomor 551.2/0136 Tentang Larangan Pengoperasian Becak Bermotor pada 24 Januari 2004, para pemilik becak motor (bentor) bingung terhadap nasib penghidupan ekonomi keluarga mereka. Keberadaan bentor telah diakui masyarakat Indonesia sebagai salah satu transportasi angkutan umum yang lumrah digunakan dan kenyataan ini harus diakomodir oleh pemerintah karena pemerintah merupakan representasi dari negara yang punya kewajiban melindungi dan menyejahterakan warganya sebagaimana sudah diamanatkan konstitusi.
Makna desentralisasi pemerintahan dan relevansinya dengan pemenuhan hak ekosob masyarakat
Pada hakikatnya desentralisasi merupakan pemindahan tugas dan wewenang dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah. Daerah memiliki keleluasaan untuk menentukan prioritas pembangunan. Dasar filosofis penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perluasan partisipasi aktif warga. Dalam hal ini otonomi daerah diharapkan dapat memberi kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan regional dan lokal guna mengoptimalkan dan mendayagunakan potensi ekonomi daerahnya.
Dilihat dari perspektif demokratisasi, otonomi daerah adalah pilihan sistem pemerintahan yang sangat baik, karena dalam sistem tersebut penentuan keputusan berada pada level terbawah. Dengan demikian akses masyarakat untuk mengawasi dan berpartisipasi dalam kebijakan publik sangat terbuka. Dilihat dari pemenuhan hak-hak dasar, pemberlakuan otonomi daerah cukup menjanjikan. Mengingat jarak antara masyarakat dengan para pengambil kebijakan jadi begitu dekat. Wajar jika muncul harapan bahwa para pengambil kebijakan akan lebih dapat memahami permasalahan yang dialami masyarakat. Pemerintah daerah tidak lagi bertanggung jawab pada pemerintah pusat meski masih ada beberapa mekanisme koordinasi dari pusat ke daerah. Sebagai gantinya, peran DPRD sebagai pengambil keputusan dan pengawas pembangunan di daerah meningkat pesat.
Dalam sistem desentralisasi, perpindahan dari pusat ke daerah bukan hanya wewenang dan uang, tapi juga tanggung jawab. Pelayanan dasar yang sebelumnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat kini beralih menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Masalah semakin maraknya bentor di Yogyakarta misalnya, dalam masa otonomi daerah ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk menemukan win win solution atas permasalahan ini. Bentor yang merupakan hasil dari kreasi dan modifikasi masyarakat harus disikapi secara bijaksana, peralihan sebagian masyarakat dari becak kayuh ke becak bermotor bukanlah tanpa alasan, bertambahnya usia merupakan salah satu faktor utama yang melatarbelakangi hal ini.
Kebijakan gubernur yang mengeluarkan Surat Edaran Nomor 551.2/0136 Tentang Larangan Pengoperasian Becak Bermotor (Bentor) tertanggal 24 Januari 2003 membuat mereka harus pandai “bersembunyi” dari perhatian polisi jika tidak ingin ditertibkan. Perlu dipahami berbicara hukum itu adalah berbicara dinamika, yaitu berbicara dalam konteks tantangan, dan di sisi lain jawaban dari suatu persoalan (challenge and response) dalam hal ini mencari solusi terhadap keberlangsungan setiap warga negara untuk tetap dan terus bertahan hidup. Tidak seorang pun yang boleh menghalang-halangi setiap warga negara untuk memenuhi hak-hak dasarnya, pilihan atas pekerjaan untuk menjadi pengemudi becak motor adalah alternatif akhir dari sulitnya memperoleh pekerjaan yang lebih layak. Artinya tiada pekerjaan lain yang dapat menghidupi kehidupan mereka sehari-hari mereka selain dari becak motor. Kebijakan gubernur dan stakeholder lainnya yang melarang atau membiarkan dilarangnya pengoperasian bentor merupakan bentuk dari pemerintahan yang gagal karena tidak bijak dan tidak mampu memberikan solusi yang tepat dan adil bagi para pengemudi bentor.
Partisipasi sebagai salah satu Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) merupakan kriteria yang dipergunakan untuk menguji sebuah peraturan kebijakan, yang bertujuan selain memelihara keutuhan tata hukum, juga yang lebih penting adalah mencegah penyalahgunaan kewenangan oleh pemerintah atau pejabat administrasi negara supaya tidak melanggar hak-hak individu dan merugikan rakyat. Kebijakan Gubernur yang telah mengeluarkan surat edaran larangan beroperasinya bentor tidak melibatkan partisipasi masyarakat (setidaknya perwakilan pemilik bentor). Kebijakan non partisipatif tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk pemerintahan yang sewenang-wenang.
Melalui kebijakan otonomi daerah yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, daerah diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, pemerintah daerah seharusnya berupaya meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan yang dimilki, sehingga memberikan peluang dan kesempatan bagi daerah untuk berupaya semaksimal mungkin dalam rangka mencapai tujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.
Solusi yang ditawarkan
Berangkat dari kontroversi lahirnya surat edaran Gubernur DIY tentang larangan pengoperasian bentor sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka perlu segera mungkin dicari jalan tengah untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan semangat win-win solution dan bukan win-lost solution yang dapat memunculkan konflik horisontal di masyarakat. Langkah antisipasi harus dilakukan bersama karena persoalan pemenuhan hidup sangat vital jika tidak ada solusi yang adil dan tepat bagi semua pihak. Larangan terhadap pengoperasian bentor oleh Gubernur DIY tanpa mencarikan alternatif sumber mata pencaharian lain juga patut dipersalahkan, karena kebijakan yang baik selain memuat perintah dan larangan namun juga memiliki nilai kemanfaatan dan berkeadilan sosial bagi masyarakat.
Amanah sila ke-5 Pancasila yang menyebutkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan dasar dan pedoman yang harus diinternalisasikan dalam setiap aturan. Hak hidup adalah hak dasar setiap warga negara yang telah dijamin undang-undang dan negara berkewajiban melindungi serta memenuhi hak tersebut. Ilustrasi ini relevan dengan kenyataan pahit yang harus diterima dan dirasakan oleh para pemilik bentor, mereka harus beroperasi jauh dari pos polisi lalu lintas jika tidak ingin ditilang dan dipreteli.
Anggota Paguyuban becak motor yang berjumlah kurang lebih enam ratus orang ini akan terancam kehilangan mata pencaharian ––satu-satunya pekerjaan yang mereka andalkan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari keluarganya–– apabila gubernur sebagai pembuat kebijakan dan polisi atau Dinas Perhubungan sebagai pelaksana bersikeras untuk tetap melaksanakan surat edaran tersebut. Pemerintahan yang bijak adalah pemerintah yang mengerti situasi dan kondisi rakyatnya, melihat dan mempertimbangkan manfaat dan akibat dari kebijakan yang akan diambil. Di beberapa di Indonesia, keberadaan bentor telah diakui baik secara de jure maupun de facto, diantaranya:
- Pemerintah Kota Makassar telah memberikan izin bentor melintas di jalan-jalan protokol dan beroperasi di dalam kota. Pengaturan bentor dan wilayah operasionalnya ditandai dengan menggunakan stiker sebagai alat mengatur dan mengendalikan pertumbuhan jumlah bentor.
- Pemerintah provinsi Gorontalo telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengaturan Penyelenggaran Angkutan Kendaraan Bermotor. Dalam Pasal 5 ayat (1) Perda tersebut dijelaskan bahwa wilayah operasi kendaraan bentor pada wilayah Pemerintah Kabupaten/Kota berazaskan domisili. Kemudian dalam rangka pengawasan dan pengendalian kendaraan bentor antar wilayah Pemprov Gorontalo membedakannya dalam bentuk warna kap rumah-rumah (Pasal 4).
- Aceh, Medan, Riau, Palembang dan di beberapa daerah lainnya secara tidak langsung juga memberikan izin beroperasinya bentor walaupun belum ada payung hukum yang melegalkan keberadaan bentor tersebut, akan tetapi yang perlu dipahami bahwa bentor menjadi salah satu transportasi darat yang nyaman bagi masyarakat.
Beberapa contoh di atas dapat dijadikan bahan kajian dalam mengakomodir keberadaan bentor secara legal-formal sehingga adanya kepastian hukum bagi para pemilik bentor. Dilihat dari aspek yuridis memang bentor tidak termasuk ke dalam klasifikasi kendaraan bermotor sebagaimana tertuang dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Akan tetapi dari aspek sosial ekonomi, keterbatasan pendidikan menyebabkan para pemilik bentor untuk sulit memperoleh mata pencaharian yang layak. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial di antara masyarakat. Oleh sebab itu, menyikapi keberadaan bentor juga harus memperhatikan semua aspek yang melingkupinya, karena pemaksaan salah satu aspek saja hanya akan menimbulkan permasalahan yang lebih besar dikemudian hari