Perjuangan Buruh Meretas Outsourcing

DSC08409

Oleh: Hasrul Buamona

Beberapa hari yang lalu tepatnya pada tanggal 1 Mei 2012, semua kaum buruh di dunia memperingati Hari Buruh Internasional (may day), tak terkecuali dengan kaum buruh di Indonesia juga melakukan hal yang sama. Dalam aksi peringatan ini, kaum buruh bersatu dalam solidaritas untuk mengeluarkan aspirasi diantaranya, ada yang menyuarakan kenaikkan upah, jaminan keselamatan kerja dan yang menjadi pembahasan utama yakni kaum buruh menolak kebijakan pemerintah yang menghalalkan Outsourcing, sebagaimana  diatur dalam ketentuan Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 ,Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Outsourcing menjadi ancaman tersendiri bagi kaum buruh yang berada di negara berkembang seperti Indonesia. Kaum buruh merasa terancam karena tidak mendapat kepastian dalam bekerja. Tahun 2011 Mahkamah Konstitusi sendiri telah mengeluarkan putusan terkait permohonan pengujian Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 59 dan Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 terhadap UUD 1945 dengan Nomor Register Putusan, No.27/PUU-IX Tahun 2012, yang di mohonkan oleh Didik Supriadi yang mewakili Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik (AP2ML) kota Surabaya. Didik adalah pekerja outsourcing pada PT.

Ada beberapa hal yang menjadi indikator ditolaknya Outsourcing oleh berbagai elemen kaum buruh di negara ini. Pertama, mengenai kebijakan pemerintah yang kurang melindungi hak-hak kaum buruh terlihat dengan disahkannya UU No.13 Tahun 2003 Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66, yang intinya mengatur tentang penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahan lainnya (outsourcing). Ketika outsourcing diberlakukan, kaum buruh merasa hanya ditempatkan sebagai faktor produksi semata. Mereka dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus ketika tidak dibutuhkan lagi. Hal ini membuat kaum buruh seperti sapi perah bagi para pemilik modal, dan ini sangat bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Dengan mengkaji pasal ini, terlihat bahwa dinamika berpikir pemerintah sangat dangkal tanpa melihat amanah konstitusi. Yakni untuk melindungi hak berkehidupan rakyat di negara ini khususnya kaum buruh. Kedua, kendatipun dalam argumentasinya, outsourcing ini hanya diberlakukan untuk pekerjaan yang bersifat khusus dan sementara, serta memberikan pengalaman baru untuk setiap orang. Namun dalam prakteknya sangat berbanding terbalik, sebab outsourcing dimanfaatkan secara tidak seimbang dalam arti tidak merujuk apa yang menjadi argumentasi pemerintah. Perusahan outsourcing memanfaatkan legitimasi hukum yang telah diatur oleh pemerintah dengan tujuan agar mengurangi biaya produksi perusahan, dan mengurangi kewajiban perusahan untuk menjamin perbaikan upah serta perlindungan keselamatan kerja. Dari beberapa indikator diatas, membuat buruh merasa tidak ada jaminan kehidupan yang layak dan berkeadilan sebagaimna diatur dalam UUD 1945.

Apabila ditinjau dari UUD 1945 tepatnya Pasal 27 ayat (2) mengatur bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi manusia” maka negara diharuskan menyediakan kesempatan kerja kepada seluruh rakyatnya termasuk kaum buruh. Ditegaskan juga dalam Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945 juga menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Selain dari beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mengatur terkait pekerjaan dan penghidupan yang layak dan berkeadilan, ini juga terdapat dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM yakni Pasal 38 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap warga negara sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak”.

Sangat tidak layak, ketika pemerintah seperti menutup mata melihat betapa sulitnya kehidupan yang sedang dihadapi oleh para buruh, akibat dihadapkan oleh sistem bekerja outsourcing. Mereka tidak mempunyai kepastian kesejahteraan, jaminan sosial dan juga keselamatan kerja. Di sisi lain para pemilik modal bersuka ria, sebab dengan dilegalkannya sistem outsourcing memberikan peluang keuntungan yang melimpah karena penghematan diwilayah produksi serta pengalihan tanggung jawab jaminan sosial dan keselamatan bekerja oleh para buruh.

Seharusnya pemerintah dalam membuat kebijakan lebih mengedepankan nilai-nilai luhur yang tedapat dalam UUD 1945 agar kedepannya para buruh  bisa mensejahterakan kehidupannya.

Berdasarkan persoalan outsourcing yang dirasakan langsung oleh para buruh, serta untuk menghindari perusahan melakukan eksploitasi untuk tujuan bisnis semata. Maka Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan membagi outsourcing tersebut dalam 2 (dua) model. Pertama, dengan mensyaratkan agar kontrak kerja antara buruh dengan perusahan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), menjadi  “Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu”. Kedua , menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi para buruh yang bekerja pada perusahan yang memberlakukan outsourcing. Melalui model yang pertama tersebut, hubungan kerja antara para buruh dengan perusahan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah konstitusional. Sepanjang dilakukan sesuai “perjanjian kerja waktu tidak tertentu” secara tertulis. Sementara model yang kedua menerapkan, dalam hal hubungan kerja antara para buruh dengan perusahan yang memberlakukan pekerjaan outsouring berdasarkan PKWT maka para buruh tetap mendapat perlindungan atas hak-haknya sebagai buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi para buruh yang bekerja pada perusahan outsourcing.

Dari putusan mahkamah konstitusi yang berisikan solusi atas sistem outsourcing dengan membagi dalam dua model ini, memberikan sinyal yang cukup baik bagi perjuangan hak-hak aum buruh. Namun yang perlu pemerintah cermati, pemberlakuan outsourcing dalam bentuk apapun,  tetap saja tidak mampu mengurangi angka pengangguran di negara ini. Bahkan sistem outsourcing sendiri berpotensi meningkatkan jumlah kemiskinan.