Quo Vadis Pekerja Anak Dalam Tinjauan Hukum

IMG_0514
Foto karya Tihara Sito Sekar Vetri

Oleh: Idah Rosidah

Fenomena pekerja anak di Indonesia merupakan masalah serius. Pekerja anak tidak hanya mengancam kualitas kehidupan si anak saja, tapi juga mengancam hak-hak dan masa depan mereka, terlebih masa depan bangsa. Kemiskinan ditengarai menjadi salah satu penyebab munculnya pekerja anak di Indonesia. Kondisi ekonomi yang tak mapan memaksa orang tua mempekerjakan anak-anak mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tidak sedikit pula anak yang mesti bekerja menghidupi dirinya sendiri karena ia sudah tidak lagi berhubungan dengan keluarganya. Bahkan yang memilukan ada juga anak yang dituntut bekerja demi kepentingan orang-orang tertentu yang hanya ingin mengambil keuntungan materi belaka. Anehnya banyak ditemui tindakan seperti ini justru dilakukan oleh orang tua atau kerabat dekat anak tersebut.

Melihat fenomena di atas penulis berasumsi bahwa umumnya anak-anak bekerja atas dasar keterpaksaan. Apalagi jika si anak diancam oleh orang-orang tertentu yang hanya hendak mengeruk keuntungan pragmatis, mau tidak mau anak harus menuruti keinginan orang itu untuk bekerja. Hal-hal demikian adalah bentuk eksploitasi terhadap anak, lalu bagaimana hukum memotret realitas ini?

Jika dianalisis dari segi hukum pada dasarnya hak setiap orang untuk bekerja dan memperoleh pengahasilan dijamin oleh konstitusi. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:

“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”

Pasal ini diperkuat dengan pasal 28 D ayat (2) UUD 1945:

“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”

Ditinjau dari kata-kata “penghidupan yang layak”, maka timbul pertanyaan, apakah anak-anak layak untuk bekerja dan menjadi pekerja?

UUD 1945 dalam pasal 28 B ayat (2) menyatakan:

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”

Makna yang tersirat dari ketentuan ini adalah anak-anak sebaiknya tidak dijadikan sebagai pekerja. Anak adalah generasi muda penerus cita-cita bangsa, ia memiliki peran strategis yang diharapkan dapat menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu perlu diberikan upaya perlindungan serta jaminan terhadap pemenuhan hak-hak anak serta perlakuan tanpa diskriminasi. Anak seharusnya dibiarkan tumbuh berkembang sehat sehingga dapat memperoleh pendidikan dan jaminan kesehatan yang baik sampai usia dewasa, setelah itu barulah ia disiapkan menjadi pekerja.

***

Siapakah yang dapat dikategorikan sebagai anak? Jika dilihat dari faktor usia, batasan anak diatur dalam beberapa ketentuan:

1. Pasal 1 angka 1 UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18  tahun,  termasuk anak yang masih dalam kandungan.

2. Dalam pasal 1 angka 26 UU  13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa, “Anak  adalah setiap orang yang berumur di bawah 18  tahun.”

Jadi dari segi usia dapat ditetapkan bahwa siapapun yang berusia dibawah 18 tahun dikategorikan sebagai anak. Namun fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, masih banyak anak berusia kurang dari 18 tahun harus bekerja dan mengumpulkan uang untuk menyambung hidup. Jumlah pekerja anak terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, terdapat 2,5 juta pekerja anak di seluruh Indonesia yang tidak bisa menikmati pendidikan karena harus bekerja.

Problem pekerja anak juga merupakan persoalan global yang dihadapi oleh setiap negara. Di beberapa negara hal ini dianggap tidak baik bila seorang anak di bawah umur sudah dipekerjakan. Seorang pengusaha dilarang untuk mempekerjakan anak di bawah umur, namun umur minimum anak tergantung dari peraturan tiap negara tersebut. Pekerja anak oleh negara-negara kaya dianggap sebagai pelanggaran hak manusia, tetapi negara miskin mungkin masih mengijinkan karena keluarga seringkali bergantung pada pekerjaan anaknya untuk bertahan hidup dan kadang kala merupakan satu-satunya sumber pendapatan.

Secara Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa, melalui badan Internasional Labour Organization (ILO) telah mengeluarkan:

1. Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke 58 tanggal 26 Juni 1973, telah menyetujui ILO Convention No. 138 concerning Minimum Age forfor Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja) dan ILO Convention No. 138 ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia kedalam UU No. 20 Tahun 1999.

2. Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke 87 tanggal 17 Juni 1999, telah menyetujui pengesahan ILO Convention No. 182 concerning The Prohibitionand Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) dan ILO convention no. 182 telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia ke dalam UU No.1 Tahun 2000.

Kedua Undang-Undang di atas merupakan ratifikasi Konvensi ILO mengenai pekerja anak. Dengan ratifikasi ini, sesungguhnya pemerintah Indonesia terikat untuk melakukan pelarangan terhadap keberadaan pekerja anak. Mempekerjakan anak termasuk dalam  pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena kedua konvensi ILO tersebut adalah instrumen internasional tentang HAM.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa di Indonesia masih banyak anak yang dipekerjakan? Padahal sudah jelas ditegaskan dalam Pasal 68 UU Ketenagakerjaan bahwa, pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Ketentuan pengecualian ini dapat kita lihat dalam Pasal 68 UU Ketenagakerjaan di mana bagi anak yang  berumur antara 13 sampai dengan  15 tahun diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Walaupun pekerjaan tersebut dikategorikan sebagai pekerjaan yang ringan, namun mempunyai syarat yang harus dipenuhi yakni:

a. Ijin tertulis dari orang tua atau wali.

b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali.

c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam.

d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.

e. Keselamatan dan kesehatan kerja.

f. Adanya hubungan kerja yang  jelas.

g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang  berlaku.

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, f dan dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.

Selanjutnya secara berturut dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 74 diatur berbagai ketentuan mengenai pembolehan pekerja anak dengan syarat-syarat tertentu yang ketat, hal itu adalah:

a. Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang  berwenang.

b. Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.

c. Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.

d. Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk, yang dimaksud pekerjaan terburuk adalah:

    1. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya.
    1. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian.
    2. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, dan/atau.
    3. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.

Sejumlah pemerintah daerah di Indonesia, secara tegas melarang keberadaan pekerja anak, salah satunya adalah pemerintah daerah kota Yogyakarta melalui Perda Nomor 13 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan. Dalam perda tersebut tidak diatur mengenai pekerja anak, karena secara hukum anak tidak dibolehkan untuk bekerja.

Lalu bagaimana perlindungan yang harus dilakukan terhadap pekerja anak? Aturan lain yang mengatur keberadan pekerja anak di Indonesia adalah UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 3 dinyatakan:

“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera”

Lebih lanjut dalam Pasal 13 UU Perlindungan Anak disebutkan:

“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain  mana  pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak  mendapat  perlindungan dari perlakuan:

a. diskriminasi.

b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.

c. penelantaran.

d. kekejaman, kekerasan dan penganiayaan.

e. ketidakadilan.

f. perlakuan salah lainnya.

Pengaturan lain yang berhubungan dengan pekerja anak adalah UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dalam bagian kesepuluh tentang Hak Anak Pasal 52 sampai 66, secara konsepsi tidak menghendaki adanya pekerja anak. Karena pekerja anak dipandang sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap anak.