Tidak Ada Tekanan Setda, Soal Pasir Besi

Selasa, 4 Januari 2011 18:55 WIB
Laporan Wartawan Tribunjogja : Edi Cahyono

Terkait kasus pelaporan WALHI, tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) proyek penambangan pasir besi, Setda Kabupaten Kulon Progo, Budi Wibowo tengah memanggil Kapolda DIY, lurah di kelima desa, dan warga yang terkena pemetaan proyek di Pemkab Kulon Progo (03/01/2010).

Sudarsana, Lurah Karangsewu, saat ditemui Tribun usai menghadap Setda menyatakan, “Pak Budi hanya meluruskan saja, tidak ada tekanan,” ucapnya.

Ia sendiri, masa bodoh dengan tanggapan pro dan kontra warganya, “Setuju atau tidak jangan ada bentrok pertikaian dalam masyarakat,” imbuhnya. Ia juga menyatakan siap dipanggil Polda bila diperlukan.

Sementara itu, Setda Kulon Progo, Budi Wibowo saat dikonfirmasi mengatakan, agar Kades yang memenuhi menerima panggilannya. “Langkah ini legal yuridis, dan menghormati proses dan penegakan hukum,” terang pria berbadan tambun ini.

Sebagaimana diketahui kini, petani lahan pantai Kulon Progo kini merasa terancam mata pencahariannya. Karena akan ada investasi penambangan pasir Besi di sepanjang garis pantai Kulon Progo.

Menurut salahsatu anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), Widodo, proyek itu hanya akan menimbulkan kerusakan lingkungan, “Kontrak karya proyek pasir besi itu, penggaliannya 10-14 meter. Padahal tiga meter saja sudah keluar air, lihat saja sumur saya itu. Kami cemas nanti akan terjadi penurunan tanah,” tambahnya.

Kontrak karya proyek penambangan pasir besi tersebut meliputi wilayah lima desa, yaitu Karangwuni, Nggarongan, Pleret, Bugel dan Karangsewu, memakan lahan pertanian sepanjang 22 kilometer, dan lebar 1.800 meter.Dari bibir pantai, di Kabupaten Kulon Progo, mulai dari Pantai Glagah ke barat.

Masih menurut penuturan Widodo, pihak Paku Alaman tetap mengklaim lahan sebagai miliknya, dan dinyatakan sebagai tanah gersang. “Padahal sejak dulu, sudah kami tanami, seperti cabai, semangka, sawi dan lain-lain,” ujar Widodo.

Senada dengan Widodo, Suparno (40) mengungkapkan, lahannya seluas 1.400 meter persegi, yang masuk pemetaan proyek penambangan ini, sudah digarapnya sejak tahun 1992 sebagai warisan tanah dari orangtuanya.

Suparno menyayangkan, sikap pemkab. Ia merasa Pemkab hanya memikirkan urusannya sendiri, tidak pernah memikirkan nasib mereka, petani lahan pantai. “Kami jengkel, mereka tetap meneruskan proyek ini, dengan membuat proyek percontohan. Akhirnya kami tutup secara paksa,” tutur warga Desa Karangwuni ini.