Dewan Dukung Gugat Perda RTRW

September 26, 2010by Redaksi LBH Yogyakarta0

Radar Jogja [ Sabtu, 25 September 2010 ]

Bertepatan Setengah Abad Hari Agraria

JOGJA – Upaya Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo menggugat Perda Provinsi DIJ No. 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) melalui uji materiil atau judicial review ke Mahkamah Agung mendapat dukungan parlemen. Dukungan itu langsung ditunjukkan Ketua DPRD Provinsi DIJ Yoeke Indra Agung Laksana saat menerima massa PPLP yang menggelar aksi demo di Gedung DPRD DIJ, kemarin (24/9).

Tak hanya bicara lisan, keponakan mantan Bupati Bantul Idham Samawi itu juga bersedia membubuhkan tanda tangan di atas pernyataan yang disodorkan massa pendemo.

”Mendukung permohonan uji materiil Perda No. 2 Tahun 2010 oleh rakyat pesisir Pantai Selatan Kulonprogo terkait penolakan tambang pasir besi,” demikian bunyi pertama dari pernyataan yang diteken Yoeke di atas mobil pikap milik warga.

Dalam kesempatan itu, Yoeke juga memberikan dukungan agar petani penggarap diberi akses seluas-luasnya terhadap hak atas tanah. Kader PDIP itu juga menulis pernyataan dalam tulisan tangan. ”Mendukung kebijakan yang selalu melindungi dan menyejahterakan petani dan kaum duafa,” tulis Yoeke.Massa PPLP itu berjumlah sekitar 300 orang. Mereka menggelar aksi demo bertepatan dengan 50 tahun atau Setengah Abad Hari Tani Nasional sekaligus peringatan Hari Agraria. Massa tergabung dalam Front Pembela Tanah Rakyat (FPTR).

Aksi dimulai dari Taman Parkir Malioboro Abubakar Ali dan berakhir di perempatan Kantor Pos Besar. FPTR menyuarakan tuntutan agar rencana penambangan pasir besi di Kulonprogo dihentikan karena mengancam kehidupan 123.601 jiwa. Sebagian besar dari mereka adalah para petani.

Koordinator Umum FPR Sukiratnasari mengungkapkan, berdasarkan data Dinas Pertanian Provinsi DIJ, selama satu dekade terakhir terjadi penyusutan lahan pertanian di DIJ rata-rata 0,5 persen per tahun. Penyusutan itu berdampak menurunnya luas panen dan produksi DIJ dalam kurun waktu empat tahun terakhir rata-rata 1,05 persen per tahun.

”Luas panen padi juga merosot rata-rata 1,64 persen per tahun. Bila kemerosotan ini terus terjadi, masa depan pertanian DIJ patut dicemaskan,” ungkap Kiki sapaan akrabnya.

FPTR juga mendesak agar program reformasi agraria sejati bagi kaum tani dan rakyat direalisasikan sesingkat-singkatnya. Pemerintah juga diminta mengimplementasikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi petani khususnya hak petani atas pengelolaan lahan garapan.

”Hentikan segera tindak kekerasan, penangkapan, dan kriminalisasi terhadap kaum tani,” ucap alumnus FH UGM ini.

Aksi unjuk rasa memeringati Hari Tani juga dilakukan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Kota Jogja yang menuntut perbaikan nasib petani. Mereka berdemonstrasi untuk mendesak pemerintah berpihak kepada petani, yakni dengan mereformasi UU Agraria dan melindungi petani tradisional dari gempuran koorporasi pertanian.

”Pemerintah harus mereformasi UU Agraria dengan kembali ke Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Karena UUPA tersebut merupakan tonggak paling penting dalam sistem agraria nasional yang berpihak kepada rakyat,” tandas Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pimpinan Kota (Pimkot) FPPI Jogjakarta Bambang Prasojo Wicaksono saat berorasi dari Tugu ke titik nol kilometer.

Bambang menegaskan, kedaulatan warga negara terhadap tanah, air, udara, dan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya merupakan kewajiban mutlak pemerintahan SBY. Bukan malah berpihak pada koorporasi pertanian dengan dalih ketersediaan pangan nasional. Sebab, program pemerintah yang dinamai dengan food estate tersebut malah mempermudah pemodal asing mengambil lahan pertanian.

”Akhirnya petani yang semua memiliki lahan pertanian kini menjadi buruh di atas tanah miliknya,” imbuh Bambang.

Selain mendesak perubahan UU Agraria yang berpihak kepada petani, mereka juga menuntut adanya jaminan nasib petani. Terutama saat mereka membutuhkan benih dan pupuk. ”Petani saat ini hanya menjadi korban dari permainan mafia pupuk dan tengkulak. Pemerintah seharusnya tegas memberantas mereka yang merugikan petani,” sambungnya.

Dalam aksi yang dimulai dari Tugu dan berjalan kaki menuju titik nol kilometer, massa FPPI ini meneriakkan kepada pengguna jalan untuk sama-sama memperhatikan nasib petani. Mereka mengajak masyarakat menghitung jasa petani. ”Coba tidak ada petani, kita bisa makan apa,” teriak salah seorang demonstran.

Saat berada di depan Gedung DPRD DIJ, mereka meminta wakil rakyat tersebut untuk meneruskan ke pemerintah pusat mencabut UU perkebunan. UU tersebut mereka nilai berpotensi merugikan kaum tani seperti Rancangan UU Pengadaan Tanah, Pertanahan, dan Hortikultura. ”Semua produk hukum tersebut syarat dengan pemodal asing,” tandas Bambang.

Sebelum menutup aksi ini, mereka menyuarakan dijadikannya tanggal 24 September sebagai Hari Petani. ”Pemerintah harus mengakui dan memeringati Hari Petani sebagai penghormatan kepada mereka,” lanjutnya. (kus/eri)