Sumber : Koran Radar, 20 September 2010
SLEMAN – Untuk kali ketiga, majalah Natas yang diterbitkan tiap semester oleh Unit Kegiatan Pers mahasiswa (UKPM) Universitas Sanata Dharma (USD) Jogjakarta, diterbitkan pada Sabtu lalu, (18/9) di Student Hall Kampus II USD Mrican. Selain peluncuran, Natas juga menggelar diskusi berjudul “Sesaji Raja untuk Para Dewa Kapital”dengan pembicara Sabina Thipani (pemimpin redaksi Natas), Aditya Johan Rahmadan (LBH Jogja) dan Widodo (Aktivis Paguyuban Petani Lahan Pantai-PPLP).
Majalah Natas yang terbit sejak 1991 ini tidak hanya membahas isu-isu di seputar kampus USD, tetapi juga isu-isu yang terjadi di masyarakat. Yang menarik, majalah ini bersifat independen sehingga tidak tercemari oleh adanya iklan dan tetap bisa kritis.
Pada diskusi kali ini, Sabina menjelaskan apa yang melatarbelakangi tema feodalisme ini.
Sudah Banyak Terjadi Kecurangan
Timnya seringkali membaca pemberitaan di media umum hanya straight news dan tampak mendukung pemerintah ketimbvang rakyat kecil. Misalnya saja tentang kass yang terjadi di Kulonprogo.
“Memang ada indikasi feodalisme di Jogja. Saar reportase, ditemukan kasus tentang sistem pertanahan dan belum adanya forum yang mengokomodasi kepentingan rakyat yang terbentuk dari hubungan pemerintah dengan pemilik tanah,”jelas Sabina.
Menurutnya, sistem feodalisme sangat menguntungkan posisi pemilik tanah dan terjadinya kesewenang-wenangan dari pemilik. Adanya benturan dalam perundangan, pemilihan di daerah raja adalah dengan aklamasi dan penunjukan sehingga feodalisme akan sangat jelas bertentangan dengan demokrasi.
Widodo dengan menunjukan beberapa peristiwa melalui slideshow, menggambarkan petani Kulonprogo sering mendapat ancaman dan teror. “Saya adalah petani bukan aktivis. Pemerintah tidak pernah merespons aksi rakyat, mereka tidak memikirkan kehidupan rakyat, terutama petani di pesisir. Pikirannya hanya uang dan materi,”katanya.
Widodo melanjutkan, dengan konsensus penambangan yang mencapai 2790 hektare, rupanya pemerintah tak juga berpihak pada petani. Sehingga feodalisme menurut semua hanya untuk penguasa. Bahkan Jogja bisa membuat undang-undang sendiri karena memiliki kekuasaan.
“Misalnya Pak Tukijo yang tiba-tiba diskriminalisasi, itu sungguh aneh. Sudah banyak terjadi kecurangan, banyak mafia perundang-undangan, ada kurang lebih 30 pasal yang ditambah pun dikurangkan. Banyak masyarakat yang direpresi,”tandasnya.
Aditya Johan Rahmadan atau biasa disapa Johan, menyatakan, jika Kulonprogo menjadi kawasan tambang, akan dikemanakan masyarakat tersebut. Ia membandingan dengan kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo.
“Masyarakat lumpur Lapindo saja belum jelas bagaimana nasibnya, bagaimana yang di Kulonprogo? Teman0teman petani telah lama sekali tinggal di sana dan merekalah yang mengolah lahan. Kapitalisme ekspansif, seperti penambangan, pasti merebut alat produksi dari masyarakat, mereka akan sangat sulit mendapatkan nilai lebih,”jelasnya.
Pihaknya sendiri menguatkan metode organisasi massa terlebih dahulu, terutama di PPLP. Jika hanya melalui hukum tidak akan cukup, apalagi masyarakat menolak maka akan ada adu domba yang membuat masyarakat tidak betah.
“Maka akan banyak hak-hak masyarakat yang dilanggar, yaitu mendapat penghidupan yang layak, akses alat produksi, dan pekerjaan,”tegas Johan. (isa)
Pada diskusi kali ini, Sabina menjelaskan apa yang melatarbelakangi tema feodalisme ini.
Sudah Banyak Terjadi Kecurangan
Timnya seringkali membaca pemberitaan di media umum hanya straight news dan tampak mendukung pemerintah ketimbvang rakyat kecil. Misalnya saja tentang kass yang terjadi di Kulonprogo.
“Memang ada indikasi feodalisme di Jogja. Saar reportase, ditemukan kasus tentang sistem pertanahan dan belum adanya forum yang mengokomodasi kepentingan rakyat yang terbentuk dari hubungan pemerintah dengan pemilik tanah,”jelas Sabina.
Menurutnya, sistem feodalisme sangat menguntungkan posisi pemilik tanah dan terjadinya kesewenang-wenangan dari pemilik. Adanya benturan dalam perundangan, pemilihan di daerah raja adalah dengan aklamasi dan penunjukan sehingga feodalisme akan sangat jelas bertentangan dengan demokrasi.
Widodo dengan menunjukan beberapa peristiwa melalui slideshow, menggambarkan petani Kulonprogo sering mendapat ancaman dan teror. “Saya adalah petani bukan aktivis. Pemerintah tidak pernah merespons aksi rakyat, mereka tidak memikirkan kehidupan rakyat, terutama petani di pesisir. Pikirannya hanya uang dan materi,”katanya.
Widodo melanjutkan, dengan konsensus penambangan yang mencapai 2790 hektare, rupanya pemerintah tak juga berpihak pada petani. Sehingga feodalisme menurut semua hanya untuk penguasa. Bahkan Jogja bisa membuat undang-undang sendiri karena memiliki kekuasaan.
“Misalnya Pak Tukijo yang tiba-tiba diskriminalisasi, itu sungguh aneh. Sudah banyak terjadi kecurangan, banyak mafia perundang-undangan, ada kurang lebih 30 pasal yang ditambah pun dikurangkan. Banyak masyarakat yang direpresi,”tandasnya.
Aditya Johan Rahmadan atau biasa disapa Johan, menyatakan, jika Kulonprogo menjadi kawasan tambang, akan dikemanakan masyarakat tersebut. Ia membandingan dengan kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo.
“Masyarakat lumpur Lapindo saja belum jelas bagaimana nasibnya, bagaimana yang di Kulonprogo? Teman0teman petani telah lama sekali tinggal di sana dan merekalah yang mengolah lahan. Kapitalisme ekspansif, seperti penambangan, pasti merebut alat produksi dari masyarakat, mereka akan sangat sulit mendapatkan nilai lebih,”jelasnya.
Pihaknya sendiri menguatkan metode organisasi massa terlebih dahulu, terutama di PPLP. Jika hanya melalui hukum tidak akan cukup, apalagi masyarakat menolak maka akan ada adu domba yang membuat masyarakat tidak betah.
“Maka akan banyak hak-hak masyarakat yang dilanggar, yaitu mendapat penghidupan yang layak, akses alat produksi, dan pekerjaan,”tegas Johan. (isa)