Sesuai Opsi Dewan Gugatan Perda RTRW ke MA, Dinilai Tepat.

Sumber : Radar Jogja, Senin 6 September 2010

JOGJA –langkah hukum Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo mengajukan gugatan uji materiil terhadap Perda Provinsi DIJ No. 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dinilai sebagai langkah yang tepat. Bahkan pilihan mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung itu sesuai dengan opsi yang pernah dipikirkan DPRD Provinsi DIJ.

“Kami dulu menerima masukan berupa empat opsi. Salah satunya judicial review,” ujar anggota Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD Provinsi DIJ Edi Susilo kemarin (5/9).

Oleh karena itu, ketua Fraksi Gabungan DPRD DIJ ini mendukung penuh upaya hukum yang ditempuh warga. “Harus diapresiasi. Tak ada yang bisa menghalangi langkah hukum itu. Kita semua harus menghormati,” ajak kader PPP ini.

Edi mengungkapkan, masukan itu datang dari ahli hukum UGM Enny Urbaningsih saat Balegda membahas masalah Perda No. 2 Tahun 2010 yang ditindaklanjuti Pemprov DIJ usai dievaluasi Kementrian Dalam Negeri dalam melibatkan DPRD. Tiga opsi lain adalah mengajukan pembatalan perda ke Kementrian Dalam Negeri, penangguhan klarifikasi, pencabutan perda atau lebiglative review.

Belum Efektif, Sudah Tuai Masalah

Menurut Edi, opsi minta pembatalan ke Kementrian Dalam Negeri sangat sulit terpenuhi.

Alasannya, evaluasi dari pusat telah ditindaklanjuti. Pembatalan ke pusat dapat terjadi bila ada parameter lain, misalnya ada kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang dilanggar.

Sedangkan opsi penangguhan, waktunya terbatas untuk menjamin kepastian hukum. Terminologi penangguhan tidak dikenal karena yang ada hanyalah pembatalah perda bila ada muatan yang melanggar parameter.

Selama proses klarifikasi perda tetap dinyatakan berlaku.”Perda diberhentikan berlaku bila dibatalkan meneteri,” katanya.

Untuk tindakan pencabutan perda, mekanismenya perda dinyatakan tetap berlaku setelah proses klarifikasi selesai dan diajukan kembali sesuai dengan proses tata tertib guna dicabut karena dipandang tak sesuai prosedur. Setelah pencabutan, perda RTRW tak perlu masuk program legislasi daerah (Prolegda) karena sifatnya mendesak sehingga dapat langsung diajukan kembali.

“Satu-satunya yang paling cepat memang opsi Judicial Review. Pembatasannya hanya 180 hari setelah diundangkan. Sekarang masih cukup waktu.”

Dikatakan, pengajuan gugatan ke MA itu merupakan hak konstitusi. Karena itu, dewan sepakat mendukung upaya warga mencari keadilan. Diakui, dewan memiliki keterbatasan melangkah. Sejumlah upaya seperti minta penangguhan ke Kementrian Dalam Negeri juga belum mendapatkan tindak lanjut seperti harapan. Kader PPP iu sepakat bila ditempuh berbagai langkah sesuai opsi yang ada. Semakin banyak upaya yang dilakukan menurut Edi semakin baik. Diakui, proses pengundangan Perda RTRW telah melecehkan institusi dewan. Sebab, eksekutif bertindak sendiri tanpa melibatkan dewan. “Padahal aturan hukum mengharuskan pemprov tidak bisa meninggalkan dewa,” paparnya.

Anggota Balegda lainnya Sadar Narimo mendesak agar langkah pembatalan perda atau legislative review segera dilakukan parlemen. Tindakan itu menjadi langkah nyata dewan menyikapi kasus Perda RTRW.

Legislative review, lanjut Sadar, bisa berjalan paralel dengan uapaya warga pesisir mengajukan gugatan ke MA. “Kita tempuh jalan masing-masing tapi muaranya sama,” tegas kader PAN ini semangat. Sedangkan Enny Urbaningsih menilai, Perda RTRW belum dapat berlaku efektif sudah menuai masalah karena adanya komunitas yang menghendaki revisi atau subtansi karena muatan perda dipandang tak sesuai kondisi kebutuhan hukum masyarakat. Adanya resistensi itu mengakibatkan Perda RTRW tak mungkin berlaku efektif dengan maksud membangun ketertiban dalam penggunaan ruang di wilayah DIJ.”Perlu dilihat proses pembentukan hingga pengundangan perda,” pintanya.

Kuasa hukum PPLP dari LBH Jogja Samsudin Nurseha SH menilai, munculnya muatan ayat (2) poin B angka (2) pasal 60 Perda No. 2 Tahun 2010 mengancam kehidupan 123.601 warga, yang selama ini bergantung kehidupannya pada lahan pesisir sebagai petani.

Mereka tinggal di empat kecamatan yakni Galur, Panjatanm Wates, dan Temon dan bermukim di 21 dusun. Penambangan gumuk pasir juga bisa memicu terjadinya abrasi pantai yang pada akhirnya mengancam kelangsungan hidup dan kegiatan pertanian yang menjadi mata pencaharian warga setempat. (kus)