Sumber : Radar Jogja, Rabu Legi 7 Juli 2010 hal. 13
JOGJA – Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DIJ sampai saat ini belum mengambil keputusan apa pun menyikapi konroversi Perda No. 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tat Ruang Wilayah (RTRW). Selepas bertemu Pakar Hukum UGM Enny Nurbaningsih SH Mhum, anggota Balegda belum pernah bertemu kembali.
“jadi wajar kalau setiap anggota Balegda punya pendapat sendiri-sendiri,” ujar anggota Balegda DPRD DIJ sepulang dari kunjungan kerja ke Kulonprogo, kemaran (6/7).
Dalam pertemuan itu, Enny mengajukan empat opsi yang bisa dipilih dewan. Yakni, pembatalan perda oleh Mendagri, penangguhan klarifikasi, pencabutan perda atau legislatif review, dan judicial review oleh Mahkamah Agung.
Ternalem menganggap, adanya pernyataan soal pencabutan dan perubahann Perda RTRW belum menjadi sikap resmi Balegda.
Perubahan Perda Salah Alamat
Bahkan Balegda juga masih akan berkonsultasi dengan Kementrian Dalam Negeri (Kemdagri). “Opsi yang ditawarkan ahli juga belum kita pilih,” ungkap kader PDIP itu.
Rencana Balegda menyerap aspirasi terkait Perda RTRW ke Kulonprogo gagal membuahkan hasil. Agenda penyerapan aspirasi itu yang berlangsung di gedung DPRD Kulonprogo berubah menjadi dialog dengan Paguyuban Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo. Jalannya dialog cenderung panas sehinga tak menghasilkan titik temu.
“Kami juga gagal meninjau lokasi pesisir untuk bertemu dengan rakyat,”keluh Ternalem. Batal datang ke lokasi pesisir membuatnya merasa kecewa berat. Sebagai wakil rakyat, ia merasa tak bisa menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif.
“Bagaimana mungkin, kalau wakil rakyat mau bertemu dengan rakyatnya saja susah,”sesal ayah empat puteri ini.
Kunjungan ke pesisir itu batal menyusul adanya informasi Polres Kulonprogo. Mengingat situasi lapangan, anggota dewan diminta menunda kunjungan kerja ke pesisir tersebut.
Ketua Balegda Edhie Wibowo mengatakan, masyarakat baik perorangan maupun kelompok dapat mengajukan gugatan uji material ke Mahkamah Agung (MA)/ menurut dia, hak masyarakat bila ingin menggugat Perda RTRW ke MA. “Kalau gugatannya diajukan oleh kelompok akan lebih kuat daripada perorangan,”tegasnya.
Terpisah, mantan Ketua Pansus Perda RTRW DPRD DIJ Nazaruddin mengkritisi pernyataan ketua Balegda yang akan melakukan perubahan Perda RTRW pada tahun depan. “Kenapa harus 2011. Apa alasannya?” gugat Nazar.
Ia mendesak agar ada klarifikasi terkait masalah itu. Bila yang dimaksudkan adalah peruabahan biasa, maka perubahan Perda RTRW itu hanya dapat dilakukan dalam masa lima tahunan.
Alumnus FH UII itu menjelaskan, perubahan perda hanya ada dua alasan yaitu karena kebutuhan dan penyesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi. Anggota DPRD DIJ 2004-2009 ini mengatakan, apa yang terjadi di balik kontroversi Perda RTRW adalah skandal perundang-undangan.
Ia juga mengingatkan wilayah Balegda adalah soal legislasi. Bila sampai masuk ke isi perda bukan wilayahnya. Termasuk, menyikapi kasus penambangan pasir besi bukan kewenangan Balegda. “Itu wewenang pansus,”ujarnya.
Wakil Ketua DPW PAN DIJ itu juga heran dengan lemahnya sensitifas Balegda terhadap skandal perundang-undangan di balik pengesahan Perda RTRW. Sikap Balegda akan menjadi pertaruhan kredibilitas lembaga dewan dan bukan semata Balegda, bila Balegda sepakat telah terjadi skandal perundang-undangan, opsi mengajukan perubahan Perda RTRW salah alamat. “Mestinya opsinya adalah pencabutan perda,”tegasnya.(nis)
Ternalem menganggap, adanya pernyataan soal pencabutan dan perubahann Perda RTRW belum menjadi sikap resmi Balegda.
Perubahan Perda Salah Alamat
Bahkan Balegda juga masih akan berkonsultasi dengan Kementrian Dalam Negeri (Kemdagri). “Opsi yang ditawarkan ahli juga belum kita pilih,” ungkap kader PDIP itu.
Rencana Balegda menyerap aspirasi terkait Perda RTRW ke Kulonprogo gagal membuahkan hasil. Agenda penyerapan aspirasi itu yang berlangsung di gedung DPRD Kulonprogo berubah menjadi dialog dengan Paguyuban Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo. Jalannya dialog cenderung panas sehinga tak menghasilkan titik temu.
“Kami juga gagal meninjau lokasi pesisir untuk bertemu dengan rakyat,”keluh Ternalem. Batal datang ke lokasi pesisir membuatnya merasa kecewa berat. Sebagai wakil rakyat, ia merasa tak bisa menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif.
“Bagaimana mungkin, kalau wakil rakyat mau bertemu dengan rakyatnya saja susah,”sesal ayah empat puteri ini.
Kunjungan ke pesisir itu batal menyusul adanya informasi Polres Kulonprogo. Mengingat situasi lapangan, anggota dewan diminta menunda kunjungan kerja ke pesisir tersebut.
Ketua Balegda Edhie Wibowo mengatakan, masyarakat baik perorangan maupun kelompok dapat mengajukan gugatan uji material ke Mahkamah Agung (MA)/ menurut dia, hak masyarakat bila ingin menggugat Perda RTRW ke MA. “Kalau gugatannya diajukan oleh kelompok akan lebih kuat daripada perorangan,”tegasnya.
Terpisah, mantan Ketua Pansus Perda RTRW DPRD DIJ Nazaruddin mengkritisi pernyataan ketua Balegda yang akan melakukan perubahan Perda RTRW pada tahun depan. “Kenapa harus 2011. Apa alasannya?” gugat Nazar.
Ia mendesak agar ada klarifikasi terkait masalah itu. Bila yang dimaksudkan adalah peruabahan biasa, maka perubahan Perda RTRW itu hanya dapat dilakukan dalam masa lima tahunan.
Alumnus FH UII itu menjelaskan, perubahan perda hanya ada dua alasan yaitu karena kebutuhan dan penyesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi. Anggota DPRD DIJ 2004-2009 ini mengatakan, apa yang terjadi di balik kontroversi Perda RTRW adalah skandal perundang-undangan.
Ia juga mengingatkan wilayah Balegda adalah soal legislasi. Bila sampai masuk ke isi perda bukan wilayahnya. Termasuk, menyikapi kasus penambangan pasir besi bukan kewenangan Balegda. “Itu wewenang pansus,”ujarnya.
Wakil Ketua DPW PAN DIJ itu juga heran dengan lemahnya sensitifas Balegda terhadap skandal perundang-undangan di balik pengesahan Perda RTRW. Sikap Balegda akan menjadi pertaruhan kredibilitas lembaga dewan dan bukan semata Balegda, bila Balegda sepakat telah terjadi skandal perundang-undangan, opsi mengajukan perubahan Perda RTRW salah alamat. “Mestinya opsinya adalah pencabutan perda,”tegasnya.(nis)