Radar Jogja [ Jum’at, 02 Juli 2010 ]
JOGJA – Proses evaluasi Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD Provinsi DIJ terhadap Perda tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) terus berlanjut. Balegda mengundang Pakar Hukum UGM Enny Nurbaningsih SH Mhum untuk memberikan masukan soal revisi pasal disusul penetapan perda yang tidak melibatkan DPRD tersebut.
Diingatkan, setiap tindakan yang terkait perubahan teknis atau substansi perda harus dilakukan pemegang otoritas yakni DPRD dan kepala daerah. Fakta yang mengemuka justru sebaliknya.
Hasil evaluasi Mendagri yang ditindaklanjuti dengan revisi pasal dari 129 pasal menjadi 160, pasal tidak dilengkapi persetujuan dewan. Sampai sekarang tak ada keputusan DPRD DIJ. ”Perda perubahan yang telah direvisi secara sepihak ditetapkan menjadi Perda No. 2 Tahun 2010,” ungkapnya.Menyikapi kondisi tersebut, Enny mengajukan empat opsi. Yakni, pembatalan perda oleh Mendagri, penangguhan klarifikasi, pencabutan perda atau legislatif review, dan judicial review oleh Mahkamah Agung.
Untuk opsi pertama, Enny menilai sulit dilakukan bila tak ada peraturan yang lebih tinggi dan kepentingan umum yang dilanggar. Sedangkan opsi kedua, terminologi penangguhan klarifikasi tidak dikenal. Selama proses klarifikasi, perda tetap berlaku. ”Perda dihentikan berlaku jika dibatalkan oleh menteri,” ungkapnya.
Tentang opsi ketiga pencabutan, perda tetap dinyatakan berlaku setelah proses klarifikasi selesai. Selanjutnya diajukan kembali sesuai proses tata tertib dewan untuk dicabut karena dipandang tidak sesuai prosedur.
”Proses berikutnya Perda RTRW dapat diajukan kembali tanpa melalui program legislasi daerah (prolegda) mengingat sifatnya yang mendesak,” papar Enny. Terkait opsi judicial review adalah uji materi formil dan materiil dibatasi selama 180 hari setelah diundangkan.
Usai pertemuan, tiga anggota Balegda Edy Susila, Sadar Narimo, dan Putut Wiryawan merasa condong dengan opsi ketiga. ”Pencabutan perda saya rasa lebih tepat,” kata Sadar. Kader PAN ini beralasan, pencabutan perda menjadi ranah DPRD. Karena itu, prosesnya tidak memerlukan prosedur yang rumit.
Senada Ketua Fraksi Gabungan Edy Susila menyatakan, karena pencabutan perda menjadi kewenangan dewan, maka sebaiknya opsi itulah yang dikedepankan. Edy mengatakan selama ini dewan telah dilecehkan akibat proses pengundangan Perda RTRW yang bermasalah.
Tidak dilibatkannya dewan merupakan pukulan telak bagi lembaga parlemen. ”Proses pengkritisan kita adalah mencabut perda itu kemudian membahasnya ulang,” pintanya.
Ketua Fraksi Partai Demokrat (FPD) Putut Wiryawan meyakini, opsi pencabutan perda akan meningkatkan martabat dewan di mata publik. Pilihan itu bukan saja dipandang dari sisi politis tapi juga demi memenuhi aspek yuridis. ”Dewan juga telah mendengarkan aspirasi masyarakat yang memasalahkan Perda RTRW,” katanya.
Mengutip masukan Enny, Putut mengungkapkan, pakar hukum UGM itu memberikan pendapat kasus Perda RTRW termasuk kejahatan terhadap konstitusi. ”Artinya ini masalah serius. Jadi harus kita sikapi secara cepat dan tepat,” ajaknya.
Kepala Biro Hukum Setprov DIJ Moedji Rahardjo SH Mhum tak bersedia menanggapi rencana pencabutan perda oleh parlemen itu. Ia menyarankan agar masalah itu ditanyakan ke atasannya. ”Masalah Perda RTRW telah ditarik ke atas. Bukan kompetensi saya berkomentar,” kilahnya.
Assekprov Administrasi Umum Provinsi DIJ Ichsanuri menyatakan kesiapannya melanjutkan pembahasan dengan Balegda. ”Tak ada kata lain selain siap,” tegas mantan kepala Bawasda ini.
Ichsanuri menyatakan, sampai sekarang pemprov tetap memegang surat jawaban Mendagri yang menilai penetapan Perda RTRW telah sesuai prosedur. Ia juga siap mengikuti saran Mendagri terkait permasalahan Perda RTRW dibahas ulang dengan DPRD. ”Pegangan kita surat Mendagri,” jelasnya.
Diperoleh informasi, kelanjutan pembahasan Perda RTRW akan dilakukan Balegda di luar gedung dewan. Balegda berencana menggelar rapat kerja dengan eksekutif di Kaliurang, besok (2/7). Rapat direncanakan berlangsung di Wisma PU Kaliurang. (kus)