Sumber : Radar Jogja, Kamis Pon 24 Juni 2010
KULONPROGO – seperti yang dijadwalkan, kemarin (23/6) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendatangi pemkab dan DPRD Kulonprogo. Di kedua lembaga pemerintahan itu, Komnas HAM memfokuskan hal yang berbeda.
Di hadapan Bupati Kulonprogo, Komnas HAM lebih menekankan pada tahapan sosialisasi dan keikutsertaan masyarakat dalam tahapan rencana pembukaan proyek pasir besi di pesisir pantai itu. Sedangkan di hadapan para wakil rakyat, Komnas HAM lebih fokus pada peraturan daerah (perda) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
Komisioner Komnas HAM Ahmad Baso menjelaskan, pada tahun 2008 silam, tim komisioner pernah bertemu dengan Bupati Kulonprogo dan sudah mendapatkan review dari berbagai pihak.
Hanya saja, muncul perkembangan baru dalam kasus pasir besi ini. Sehingga Komnas HAM ingin tahu lebih detail mengenai tahapan proyek pasir besi ini. “Ada sejumlah hal yang ingin kami tanyakan, terkait rapat sosialisasi yang melibatkan unsur TNI, sehingga ada indikasi menakuti warga. Dan sejauh mana masyarakat dilibatkan dalam tahapan proyek pasir besi ini. Selain itu, kami juga ingin tahu terkait status tanah di pesisir,” ujarnya di hadapan Bupati Kulonprogo dan jajarannya di Joglo Pemkab Kulonprogo.
Ahmad juga menyampaikan pengaduan masyarakat pesisir kepada Komnas HAM, dimana warga mendapatkan intimidasi dan kriminalisasi melalui Korlap PPLP. Selain itu, pengusutan perusakan posko dianggap tidak menyeluruh, karena otak di balik insiden itu tak terungkap. Apalagi sempat terjadi bentrok antara warga dengan aparat ketika konsultasi publik dilakukan beberapa waktu silam. “Kami ingin tahu sejauh mana pemerintah memberikan perlindungan kepada warga di pesisi,” ucapnya.
Bupati Kulonprogo Toyo S Dipo menjelaskan, masalah perusakan posko dan masalah hukum yang menyeret salah satu anggota PPLP, semua sudah diserahkan ke pengadilan.
Proses hukumnya juga sudah dilakukan bahkan sudah sampai pada tahap vonis. “Pemkab hanya sebagai pengawas saja, dan tidak turut campur mengenai proses hukum itu, karena bukan menjadi kewenangan kami,” kata Bupati Toyo.
Menurut Toyo pemkab juga sudah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk melindungi petani di pesisir, apabila kelak tambang pasir besi lolos dari penilaian amdal. Melalui perbup dan keputusan bupati, diatur penggunaan tanah untuk tambang yang merupakan tanah hak meilik harus melalui persetujuan dan kesepakatan dari pemilik tanah.
Selain itu, penambangan harus dilakukan per blok selama satu tahun dan di tahun kedua reklamasi harus selesai dilaksanakan olrh pemrakarsa. “Kebijakan itu dibuat agar petani tak kehilangan tanah mereka. Selama ditambang, petani juga dapat kompensasi hasil pertanian dengan harga layak. Kepada masyarakat, kami juga sudah tawarkan untuk masuk ke dalam Komisi Amdal Kabupaten. Tapi sayangnya warga tidak mau,” terangnya.sementarea itu, ketika di Gedung DPRD Kulonprogo, rombongan Komnas HAM lebih fokus pada masalah penyusunan perda RTRW. Sejauh mana tahapannya, dan langkah yang diambil oleh para wakil rakyat. Pasalnya, Komnas HAM mendapatkan informasi bahwa ada satu pasal tambahan terkait penambangan padahal di raperda tidak disebutkan.
“Kami hanya ingin tahun saja, sejauh mana DPRD mengawal permasalahan tambang pasir besi ini,” tanyanya kepada anggota DPRD Kulonprogo.
Wakil Komisi III DPRD Kulonprogo Hamam Cahyadi menjelaskan, untuk perda RTRW masih mengacu pada perda nomor 1 tahun 2003. dan di dalam perda itum ada pasal 60 yang mengatur penambahan peruntukan wilayah harus dengan persetujuan dewan. Dari situlah, DPRD mengeluarkan surat keputusan kepada Pemkab Kulonprogo.
Menurut Hamam, sebenarnya perda nomor 1 tahun 2004 itu harus segera direvisi sesuai dengan amanat undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Hanya saja, sampai saat ini di tingkat kabupaten belum melakukan pembahasan perda tata ruang. Sebab masih harus menunggu pengesahan perda tata ruang di tingkat provinsi.
“Langkah yang diambil oleh dewan kabupaten, sekedar memberikan masukan saja karena untuk perda RTRW masih dibahas di tingkat provinsi,” katanya. (ila)
Hanya saja, muncul perkembangan baru dalam kasus pasir besi ini. Sehingga Komnas HAM ingin tahu lebih detail mengenai tahapan proyek pasir besi ini. “Ada sejumlah hal yang ingin kami tanyakan, terkait rapat sosialisasi yang melibatkan unsur TNI, sehingga ada indikasi menakuti warga. Dan sejauh mana masyarakat dilibatkan dalam tahapan proyek pasir besi ini. Selain itu, kami juga ingin tahu terkait status tanah di pesisir,” ujarnya di hadapan Bupati Kulonprogo dan jajarannya di Joglo Pemkab Kulonprogo.
Ahmad juga menyampaikan pengaduan masyarakat pesisir kepada Komnas HAM, dimana warga mendapatkan intimidasi dan kriminalisasi melalui Korlap PPLP. Selain itu, pengusutan perusakan posko dianggap tidak menyeluruh, karena otak di balik insiden itu tak terungkap. Apalagi sempat terjadi bentrok antara warga dengan aparat ketika konsultasi publik dilakukan beberapa waktu silam. “Kami ingin tahu sejauh mana pemerintah memberikan perlindungan kepada warga di pesisi,” ucapnya.
Bupati Kulonprogo Toyo S Dipo menjelaskan, masalah perusakan posko dan masalah hukum yang menyeret salah satu anggota PPLP, semua sudah diserahkan ke pengadilan.
Proses hukumnya juga sudah dilakukan bahkan sudah sampai pada tahap vonis. “Pemkab hanya sebagai pengawas saja, dan tidak turut campur mengenai proses hukum itu, karena bukan menjadi kewenangan kami,” kata Bupati Toyo.
Menurut Toyo pemkab juga sudah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk melindungi petani di pesisir, apabila kelak tambang pasir besi lolos dari penilaian amdal. Melalui perbup dan keputusan bupati, diatur penggunaan tanah untuk tambang yang merupakan tanah hak meilik harus melalui persetujuan dan kesepakatan dari pemilik tanah.
Selain itu, penambangan harus dilakukan per blok selama satu tahun dan di tahun kedua reklamasi harus selesai dilaksanakan olrh pemrakarsa. “Kebijakan itu dibuat agar petani tak kehilangan tanah mereka. Selama ditambang, petani juga dapat kompensasi hasil pertanian dengan harga layak. Kepada masyarakat, kami juga sudah tawarkan untuk masuk ke dalam Komisi Amdal Kabupaten. Tapi sayangnya warga tidak mau,” terangnya.sementarea itu, ketika di Gedung DPRD Kulonprogo, rombongan Komnas HAM lebih fokus pada masalah penyusunan perda RTRW. Sejauh mana tahapannya, dan langkah yang diambil oleh para wakil rakyat. Pasalnya, Komnas HAM mendapatkan informasi bahwa ada satu pasal tambahan terkait penambangan padahal di raperda tidak disebutkan.
“Kami hanya ingin tahun saja, sejauh mana DPRD mengawal permasalahan tambang pasir besi ini,” tanyanya kepada anggota DPRD Kulonprogo.
Wakil Komisi III DPRD Kulonprogo Hamam Cahyadi menjelaskan, untuk perda RTRW masih mengacu pada perda nomor 1 tahun 2003. dan di dalam perda itum ada pasal 60 yang mengatur penambahan peruntukan wilayah harus dengan persetujuan dewan. Dari situlah, DPRD mengeluarkan surat keputusan kepada Pemkab Kulonprogo.
Menurut Hamam, sebenarnya perda nomor 1 tahun 2004 itu harus segera direvisi sesuai dengan amanat undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Hanya saja, sampai saat ini di tingkat kabupaten belum melakukan pembahasan perda tata ruang. Sebab masih harus menunggu pengesahan perda tata ruang di tingkat provinsi.
“Langkah yang diambil oleh dewan kabupaten, sekedar memberikan masukan saja karena untuk perda RTRW masih dibahas di tingkat provinsi,” katanya. (ila)