Sumber Radar Jogja, Jumát Pon 4 Juni 2010
JOGJA – sekitar 20 warga Wonosari, Gunungkidul mengadukan kasus penipuan yang menimpa mereka ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja, kemarin (3/6). Mereka mengadukan Ferry dan Narno, yang menjanjikan dana kredit sebesar Rp. 10 juta – Rp. 40 juta.
Kepada kedua orang itu, warga sudah memberikan sertifikat tanah sebagai jaminan. Tapi kenyataannya, mereka tidak mendapat uang seperti yang dijanjikan.
Jumlah uang yang diterima warga tidak sesuai dengan kesepakatan antara warga dan Narno yang bertindak sebagai calo. Padahal, setiap bulan, mereka membayar cicilan kredit kepada Ferry yang memang tercatat sebagai account officer Bank BRI Wonosari
Diduga, dana yang dibayarkan warga sebagian dibawa lari keduanya. Terbukti, keduanya sampai sekarang tidak bisa dihubungi untuk dimintai pertanggungjawaban warga.
Ke-20 warga korban penipuan itu meminta bantuan LBH menuntaskan kasus ini. Warga yang tanahnya dijadikan jaminan terancam kehilangan hak atas tanahnya karena tidak mampu mengembalikan pinjaman.
Supardiyo, salah seorang korban penipuan, menjelaskan, sekitar tahun 1995, dia ditawari kredit untuk mengembangkan usaha. “Yang menawari adalah Pak narno. Dia perpanjangan tangan Pak Ferry, mantri BRI Wonosari. Karena ditawari, saya tergiur juga,”jelasnya di hadapan Ketua LBH Jogja Muhammad Irsyad dan Kepala Divisi Ekonomi Sosial dan Budaya Samsudin Nurseha.
Jumlah pinjaman Supardiyo total Rp. 21,5 juta. Tapi, uang yang diterimanya hanya Rp. 3 juta. Sisa pinjaman diwujudkan dalam mobil seharga Rp. 12 juta. Sedangkan sisa pinjaman sejumlah Rp. 6,5 juta digunakan untuk biaya administrasi dan pengurusan sertifikat tanah.
“Waktu itu memang tanah kami belum ada sertifikatnya. Pak Narno menawarkan mau membuatkan kami sertifikat. Kami manut saja. Katanya biaya administrasi untuk mengurus sertifikat tanah dan jaminannya dipotong dari uang pinjaman. Saya Cuma menerima Rp. 3 juta. Tapi saya memang dikasih mobil yang katanya harganya Rp. 12 juta,” tuturnya.
Mobil yang diberikan hanya bertahan beberapa bulan. Setelah itu, mobilnya mengalami banyak masalah dan kerusakan sehinga Supardiyo terpaksa menjualnya. “Laku Rp 7 juta, saya jual. Karena kalau tidak dijual, saya nggak kuat ngurusin. Rusak-rusak terus. Hanya bisa dipakai di bulan-bulan awal,” katanya mengeluhkan.
Sisa pinjaman yang dijanjikan, lanjut Supardiyo, tidak pernah diberikan. Malah, belakangan, Narno dan ferry tidak bisa dihubungi. Sementara sertifikat tanahnya yang dijadikan agunan di Bank BRI masih tertahan di bank karena dia belum mengembalikan pinjaman.
Ngati Lestari, warga lain yang menjadi korban penipuan mengatakan, kasus itu sangat merugikan keluarganya. Yang terlibat proses kredit dengan Narno adalah suaminya. Jumlah pinjaman adalah Rp. 10 juta.
“Dipakai untuk apa, saya juga tidak tahu. Itu urusan suami saya dan Pak Narno. Berapa yang diterima oleh suami saya juga tidak saya ketahui besaranya,”papar wanita asal Piyaman, Jaluk, Wonosari ini.
Tahun 1999, suaminya mulai kesulitan mengembalikan pinjaman ke bank. Beberapa kali surat peringatan dari bank dilayangkan ke rumah. Tahun 2002, surat peringatan pelelangan tanah pekarangan seluas 500 meter persegi kembali datang.
“Saya cari-cari suami saya, tidak ada. Ternyata, siang hari, saya cari di dalam rumah, suami saya sudah gantung diri. Dia stress karena tidak busa mengembalikan pinjaman. Sekarang saya yang harus melunasi pinjaman,”paparnya, sambil terisak.
Sejak 2002, Ngati tidak bisa menyelesaikan angsuran. “Anak-anak saya ada tiga. Masih sekolah. Saya tidak bisa menyelesaikan angsuran. Tidak ada uang. Tanah pekarangan itu satu-satunya harta benda saya,” tambahnya.
Rejendro dari Forum Komunitas UMKM DIJ berkata, para warga korban penipuan umumny belum memiliki sertifikat tanah. Karena itu, pelaku berusaha mengambil keuntungan dengan cara menarik biaya administrasi dari proses pengurusan sertifikat tanah.
“Korban tidak mendapat uag sesuai yang dijanjikan. Tapi tetap dibebani cicilan sesuai dengan jumlah uang yang dipinjam. Mereka mengadu kepada kami. Karena itu kami teruskan ke LBH Jogja,” terangnya.
Ketua LBH Jogja Muhammad Irsyad berjanji meneruskan kasus ini ke Polda DIJ untuk kasus penipuan. : Besok Senin, mari kami antarkan ke Polda DIJ. Tidak semua harus melapor, cukup dua orang perwakilan warga saja yang tercatat sebagai pelapor. Yang lainnya memberi dukungan,” paparnya.
Pihaknya juga akan melakukan medias dengan BRI Wonosari unuk membahas kelanjutan pinjaman 20 warga ini. “ Ada beberapa opsi. Pertama pemutihan kasus. keuda pembayaran cicilan sesuai dengan jumlah uang yang diterima, karena tidak semua warga menerima sesuai dengan jumlah pinjaman,”ujarnya. (luf)