Yondi dan Buruknya Sistem Pendidikan Kita

Yondi dan Buruknya Sistem Pendidikan Kita
Selasa, 4 Mei 2010 | 14:18 WIB
Oleh Tonggo Anthon
Kompas Yogyakarta (Selasa, 30 April 2010) menurunkan berita kasus siswa Kelas XII SMAN 9 Yogyakarta, Yondi Handitya, yang tidak lulus ujian nasional tahun ini disebabkan nilai akhlak-mulia yang menjadi otoritas sekolahnya mendapat nilai C. Menurut berita tersebut, siswa yang dinyatakan lulus adalah yang selain lulus seluruh mata ujian UN dan ujian sekolah, juga ikut mendapat nilai minimal B dalam aspek akhlak-mulia. Kini, kasus ini dibawa Yondi ke Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Jika pihak sekolah tidak memberi penjelasan, LBH akan membawa kasus ini ke ranah hukum.

Harian Kompas sudah menurunkan pendapat antara pihak LBH (M Irsyad Thamrin/MIT, Direktur) dan SMUN 9 (Hardja Purnama/HP, Kepala SMUN 9). Menurut MIT, seharusnya nilai akhlak mulia tidak dijadikan komponen penentu kelulusan siswa karena penuh subyektivitas. Selain itu, menurut MIT, kalaupun akhlak mulia dijadikan komponen, hal itu harus ditempuh dengan cara akumulasi (gabungan) antarkomponen sehingga akhlak mulia tidak berdiri sendiri.

Namun, HP mengatakan, pihaknya sudah menyandarkan diri pada pedoman pendidikan akhlak mulia terbitan Kementerian Pendidikan Nasional 2009. Katanya, Yondi terlibat banyak masalah antara lain pernah membolos sekolah selama dua minggu tanpa pemberitahuan, 5 April lalu terlibat bullying terhadap siswa SMA lain. Akumulasi nilai akhlak mulia Yondi menjadi 200 atau hampir dua kali lipat dari batas maksimal yang disiapkan sejumlah 101.

Mungkin Yondi adalah kasus pertama di Indonesia bagi siswa yang tidak lulus lantaran sekolah tidak meluluskan akhlak mulia. Umumnya pihak sekolah selalu berusaha meluluskan siswanya. Ketidaklulusan siswa di Indonesia umumnya dipengaruhi faktor ketidaklulusan mata ujian UN. Artinya, bila UN-nya lulus, pasti seorang siswa lulus. Bahkan, sudah bukan rahasia lagi, demi kelulusan siswa, pihak sekolah cenderung memberi “nilai gratis” bagi siswanya. Baru SMAN 9 Yogyakarta-lah yang memiliki otoritas sejajar dengan mata ujian UN.

Kalau kita mengacu pada fakta akhlak mulia anak-anak kita yang pernah sekolah yang begitu memprihatinkan, mestinya Yondi bukan yang pertama dan ia tidak sendirian. Namun, karena sekolah-sekolah lain senang memberi nilai “gratis” (ingat, ada UN karena pengalaman ujian sekolah selalu meluluskan anak tidak memadai), maka Yondi-lah yang sendirian mengalaminya.

Kalau kita mengacu kepada konsep tujuan pendidikan dan tujuan negara menciptakan kualitas manusia yang utuh (jiwa-raga), penilaian pendidikan akhlak mulia memang tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, tindakan yang hanya menilai kecerdasan otak adalah ceroboh. Pihak Yondi hanya bisa mempersoalkan dari aspek “cara” menilai akhlak mulia seseorang, misalnya apa paradigmanya, apa variabelnya, dan apa indikatornya. Semua ini agar subyektivitas penilaian tidak terjadi.

Entah mengacu pada regulasi negara di tingkat yang lebih tinggi atau tidak, contoh kasus membolos sekolah sebagai variabel buruknya akhlak mulia siswa adalah termasuk wilayah pemaksaan (otoritas) sekolah atas setiap siswa. Apakah siswa tidak berhak alpa dari sekolah dalam waktu lama tanpa pemberitahuan? Apakah siswa wajib masuk sekolah dan kalau tidak masuk wajib memberitahu ke sekolah? Manakah acuan kebenaran itu? Bila kita mengacu pada landasan konstitusi negara kita (Pasal 28C UUD ’45) dan Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB (Indonesia adalah salah satu negara anggotanya), pendidikan adalah hak, bukan kewajiban. Dalam hak tidak ada pemaksaan dari pihak luar, kecuali pihak yang dirugikan haknya juga.

Bila Yondi (siswa) tidak masuk (termasuk tidak memberitahu sekolah), pihak sekolah tidak memiliki hak untuk memaksa dan menindak siswa. Siswa bebas menentukan dia mau masuk sekolah atau tidak, mau terlambat atau tidak, mau mengerjakan tugas atau tidak. Bila setiap sekolah sudah mewajibkan siswa untuk masuk sekolah, dan kalau tidak masuk harus memberitahu, wajib mengerjakan tugas, dan lain-lain, itu sudah menyalahi konstitusi negara kita. Perilaku Yondi baru dinilai salah kalau mengakibatkan kerugian di pihak peserta belajar (siswa) yang lainnya.

Dari aspek pedagogi, pihak sekolah tidak hanya menyalahkan siswa yang tidak masuk sekolah. Sekolah (dan pemerintah) perlu koreksi diri, apakah sistem belajar di sekolah sudah menyenangkan siswa? Bukankah Rabindranat Tagore sudah pernah mengatakan, sekolah formal adalah siksaan yang tak tertahankan? Bukankah Ivan Illich sudah pernah mengatakan, sekolah sudah menjerat manusia menuju peradaban yang menghinakan, sekolah sudah memperbudak manusia secara mendalam dan sistematis, sekolah membuat tak seorang pun yang terlibat di dalamnya luput dari eksploitasi, dan masih banyak lagi tesis Illich lain. Illich pun menyimpulkan, “Tidak seorang pun dapat dimaafkan kalau gagal membebaskan dirinya dari kegiatan bersekolah” (2008: 65).

Kita ambil contoh kecil kekerasan di sekolah. Dari kekerasan fisik, ada pukulan, ada hukuman. Dari kekerasan psikis, ada hinaan, ada pelecehan kata-kata, ada standar ganda norma antara siswa dan guru, mengkritik guru ditabukan, tugas siswa hanya menjawab soal (bukan mengontrol soal), siswa lebih banyak mendengar ceramah guru (ketimbang mengalami langsung dan menunjukkan bukti kehebatan gurunya), dominasi hanya top-down guru mengatur siswa, hanya menuntut “siswa menghormati guru” (tapi tidak ada tradisi “guru menghormati siswa”.

Selain itu, seperti kata Illich, jumlah masalah yang dihadapi bangsa ini tak pernah bisa dibendungi oleh para mantan siswa/mahasiswa. Bahkan, faktanya banyak lulusan menjadi produsen masalah bagi diri dan orang lain serta lingkungan kita. Ini semua menyajikan fakta, sekolah sudah berbohong kepada masyarakat.

Apa yang dilakukan para siswa kita yang membangkang dari peraturan sekolah, dari tidak mau masuk sekolah hingga tidak mengerjakan tugas, adalah sebuah konsekuensi logis dari buruknya realita persekolahan kita.

Ada tradisi yang salah dalam menilai akhlak mulia di lingkungan sekolah kita, yaitu kecenderungan menilai prosesnya, bukan hasilnya. Masuk dan pulang sekolah tepat waktu, mengerjakan tugas, rajin masuk sekolah, aktif membaca, adalah cara bukan hasil. Rajin berdoa, hafal ayat-ayat suci, berkostum rohani, beraksesori rohani, adalah proses, bukan hasil. Sekolah tidak boleh menilai siswa di tahap proses, tapi hasilnya. Proses hanya berhenti pada pengetahuan dan penghayatan sebagai alat, tapi bukti hidup yang merugikan atau tidak orang lain dan ciptaan Tuhan secara keseluruhan adalah hasil.

Bila Yondi membuktikan dirinya bisa meraih nilai tinggi dalam ujian, apalah artinya dia tidak masuk sekolah dan membolos atau malas mengerjakan tugas? Bila Yondi tidak masuk sekolah, tidak mengerjakan tugas, masuk terlambat, makluk Tuhan yang manakah yang dirugikan Yondi? TONGGO ANTHON Tinggal di Piyungan, Bantul, Yogyakarta, sumber dari : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/04/14180177/yondi.dan.buruknya.sistem.pendidikan.kita