Rabu, 05 Mei 2010 | 18:35 WIB
TEMPO Interaktif, Yogyakarta – Mediasi yang digelar Dewan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta atas kasus tidak lulusnya siswa kelas XII Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial SMA Negeri 9 Kota Yogyakarta Yondi Handitya (17) gara-gara nilai akhlaknya C alias cukup ternyata belum menemukan titik temu.
“Ada penilaian yang tidak adil dari sekolah, karena belum ada ukuran jelas soal standarisasi akhlak yang baik dari siswa,” kata Direktur LBH Yogyakarta M. Irsyad Thamrin di Kantor Dewan Pendidikan, Rabu (5/5).
Menurut Irsyad, selama ini penilaian akhlak dan kepribadian hanya sebatas subyektif guru. Tidak ada ukuran baku dan konsisten yang menjadi acuan mengapa siswa mempunyai nilai akhlak A, B, atau pun C. “Padahal ada siswa yang masuk catatan kriminal di kepolisian bisa lulus UN. Sedangkan klien saya tidak ada catatan pidananya,” kata Irsyad yang menyesalkan kasus tersebut telah mempermaikan psikologis Yondi.
Sebagaimana pernah diberitakan sebelumnya, bahwa nilai ujian nasional 2009/2010 milik Yondi berada di atas nilai standar minimal. Yakni Bahasa Indonesia 8,80; Bahasa Inggris 9,20; Matematika 8,75; Ekonomi 8,75; Sosiologi 7,20; dan Geografi 8,00. Total nilai yang diperolehnya pun 50,70. Sementara itu, berdasarkan surat keterangan Nomor: 421/291a tentang penilaian empat mata pelajaran di luar ujian nasional yang didasarkan pengamatan dan penilaian dewan guru, nilai mata pelajaran agama dan akhlak mulia C (cukup) serta nilai kewarganegaraan dan kepribadian juga C.
Atas dasar nilai akhlak dan kepribadian yang cukup itu, pihak sekolah menyatakan Yondi tidak lulus. Bahkan semula Hardja memberi pilihan agar Yondi mengulang pelajaran selama satu tahun atau ikut kejar paket C. Mengingat ujian susulan hanya diperuntukkan bagi siswa yang tidak ikut UN awal maupun yang tidak lulus UN. “Yondi memang siswa yang bermasalah, jadi lebih baik mengulang setahun untuk pembinaan kepribadiannya,” kata Ketua LKBH PGRI Sukirno.
Kenakalan Yondi, semisal sering membolos. Bahkan pernah membolos selama satu minggu. Juga pernah terlibat perkelahian antar siswa. “Tapi mengapa teman saya yang juga tawuran malah lulus?” tanya Yondi yang merasa diperlakukan tidak adil oleh sekolah.
Sementara itu, berdasarkan pengamatan Ketua Komite Sekolah SMA N 9 Budi, siswa-siswa di SMA N 9 dikenal sering melakukan tawuran. “Jika seperti itu, mestinya jangan siswa saja yang dipermasalahkan, tapi ada apa dengan sekolah dan guru-gurunya,” kata Ketua Dewan Pendidikan Wuryadi yang mengakui persoalan tersebut cukup rumit.
Wakil Ketua Dewan Pendidikan Hary Dandy pun mengusulkan agar ada pihak ketiga yang melakukan uji psikologi atau pun psikotes terhadap Yondi. Hanya saja, usulan tersebut tidak disepakati. Sehingga perlu ada mediasi lagi dalam waktu dekat. “Jika masih mentok, kita tetap akan mengajukannnya ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara,” kata Irsyad.
PITO AGUSTIN RUDIANA , Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/05/05/brk,20100505-245819,id.html