Tanggal 24-25 agustus 2005 lalu LBH Yogyakarta-YLBHI menyelenggarakan Workshop Reformasi Agraria di sedyo rahayu, kaliurang, para peserta yang umumnya dari para petani ini berasal dari beragam elemen, yang kritis menyoroti persoalan reformasi agraria yang terjadi di negeri ini.
Kita semua tahu rezim politik yang telah maupun sedang berkuasa di Indonesia telah “gagal” dalam mendistribusikan kesejahteraan kepada rakyatnya, khususnya kepada petani. Betapa tidak, ketika kita pernah mengaku dan menyatakan bahwa bangsa kita adalah bangsa agraris namun kondisi petani yang notabenenya sebagai pelaku utama dalam wilayah agraris masih belum sejahtera. Beragam soal senatiasa membuntutinya, mulai dari soal pertanahan, distribusi hasil panen, juga kebijakan-kebijakan yang senantiasa menempatkaan petani sebagai pihak yang kalah. Seringkali kita menyaksikan petani kebingungan menjual hasil panennya karena harga anjlok. Tidak perlu bertanya mengapa, karena ini adalah ulah para pengusaha yang melakukan kong kalikong dengan pemerintah. Pemerintah memberikan ijin import beras dengan alasan harga murah padahal suplai dari petani negeri ini amat banyak. Demikian pula dengan revolusi hijau yang didengungkan dapat meningkatkan produktivitas hasil panen hanya mampu merusak jaringan tanah, PPL (Petugas Penyuluh Lapangan) yang ditugaskan untuk memberi penyuluhan kepada petani hanya bertindak sebagai sales yang menjual bahan-bahan kimia. Mau tidak mau kita tidak bisa lepas tangan atau menutup mata atas kenyataan bahwa secara obyektif telah terjadi ketimpangan dan ketidakadilan struktural dalam masyarakat agraris.
Banyak pihak beranggapan bahwa demokratisasi pembaharuan agraria sesungguhnya telah dimulai sejak adanya UUPA No. 5 Tahun 1960 dengan agenda land reform yang menjadi trade mark. Agenda lebih khusus adalah Semangat melakukan distribusi tanah yang adil terutama bagi petani. Akan tetapi dalam prakteknya, UUPA tidak dapat diimplementasikan secara signifikan untuk mengubah nasib petani, semenjak masa rezim Orla,Orba, dan sampai sekarang.
Budaya politik dan pengantian rezim dari Orla ke Orba yang dramatis dengan mengorbankan berjuta rakyat petani telah membuat agenda pembaharuan agraria simpang-siur untuk dilakukan secara serius.
Rezim politik Orba berkuasa, UUPA digunakan sebagai landasan legitimasi untuk menjalankan pembangunan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dalam bentuk peningkatan produktivitas tanpa memberi peran pada rakyat untuk berpartisipasi dalam pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria ( Fauzi 2000). Kenyataannya revolusi hijau yang pernah berhasil dalam swasembada pangan ternyata sekaligus mengagalkan petani dalam hal kemandirian pangan. Adanya petani gurem pada era rezim Orba adalah kenyataan pahit dari satu kebijakan politik agrarian rezim Orba atas konsep Land Reform.
Kini kenyataan lain juga telah mengancam kehidupan petani, industrialisasi telah mencaplok lahan-lahan pertanian dengan dibangunnya pabrik-pabrik, perumahan mewah, dan proyek-proyek capital lainya.
Dinamika reformasi agraria di Indonesia telah terbukti tidak pernah selesai. Karena itu, pertanyaannya kemudian adalah apakah dengan diterapkannya UU Otonomi Daerah keberlanjutan reformasi agraria dapat dijalankan? Sebelum pertanyaan itu kita jawab, paling tidak kita punya harapan Otonomi Daerah dapat memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi daerah untuk mengelola SDA-nya. Namun Yang menjadi permasalahnya adalah, secara obyektif perkembangan pelaksanaan Otonomi Daerah tidak serta-merta memberikan harapan akan hakikat pembaharuan agraria. Besar kemungkinan (atau malah sudah terjadi di beberapa daerah) justru kepentingan masyarakatlah yang sering dikalahkan. Kritik atas desentralisasi pemerintahan struktural dirasakan perlu ketika makin melemahkan kepantingan rakyat. Di sini Otonomi Daerah bisa menjadi bumerang bagi masa depan reformasi agraria, karena dalam kontek tertentu, kultur politik yang terbangun di daerah juga mencitrakan kondisi buruk bagi perkembangan demokrasi reformasi agraria.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama ini telah terjadi dualisme penerapan hukum agraria terhadap keberadaan Sultan Ground di Yogyakarta. Hal ini merupakan persoalan tersendiri dalam menyoroti pembaharuan agraria di DIY. Selama ini peraturan hukum keagrariaan jelas-jelas mengatur batasan kepemilikan tanah, tetapi dalam kenyataan hal ini tidak berlaku bagi Sultan Ground, mengapa?….karena dalam UUPA (pasal 6, 7 dan 13 ) menyatakan bahwa tanah-tanah bekas swapraja sejak berlaku UUPA ini kembali menjadi milik Negara. hal tersebut akan berimplikasi pada fungsi sosial tanah yang bertujuan untuk memakmurkan rakyat harus terhalang karena monopoli kepemilikan tanah.
Membaca Fenomena tersebut Workshop Reformasi Agraria ini diselenggarakan.